
Dr Siti Nadia Tarmizi,Juru Bicara Vaksinasi Covid-19. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden )
Jakarta – Hingga akhir pekan kemarin, tercatat sudah 172.901 orang, telah mengakses untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19. Tersebar di 13.525 fasilitas pelayanan kesehatan. Pada 92 kabupaten/kota di 34 provinsi. Artinya jumlah tenaga kesehatan (nakes) yang divaksinasi Covid-19, bertambah 40 ribu per Sabtu (23/1).
‘’Proses vaksinasi ini akan terus berjalan. Untuk seluruh tenaga kesehatan. Diharapkan hingga Februari, kami bisa mencapai target 1,4 juta tenaga kesehatan, yang divaksinasi Covid-19,’’ ucap Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmidzi.
Kalau pun ada nakes yang belum terdaftar di tahap pertama, kata dia, akan masuk pada kelompok tahap kedua. Sementara itu kurang lebih 27 ribu nakes, ditunda vaksinasi Covid-19. Karena kondisi nakes yang masuk ke dalam pengecualian penerima vaksin Covid-19. Pengecualian tersebut, karena nakes sedang dalam kondisi menyusui atau penyintas Covid-19. Paling banyak karena hipertensi, yang ketika diukur tekanan darahnya lebih dari 140/90.
dr. Nadia menekankan, sampai saat ini tak ada laporan dari dinas kesehatan provinsi, adanya penolakan vaksin oleh tenaga kesehatan.
‘’Adanya juga tenaga kesehatan ingin sekali mendapatkan vaksin, tetapi karena tertunda jadi terhalang,’’ katanya dalam konferensi Pers, Sabtu (23/1).
‘’Kita tahu, vaksinasi ini sangat penting diberikan kepada tenaga kesehatan, supaya kita bisa mengurangi tingkat keparahan. Bahkan kematian akibat Covid-19. Kita sudah mengetahui bersama, sudah lebih dari 600 tenaga kesehatan yang meninggal. Ini kehilangan yang besar bagi bangsa Indonesia,’’ kata dr. Nadia.
Sementara itu Ketua Komnas KIPI, Dr. dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), MTropPaed mengatakan, reaksi anafilaktik akibat vaksinasi, sangat jarang terjadi. Dari satu juta dosis, terjadi sebanyak 1 atau 2 kasus. Selain disebabkan vaksin, reaksi Anafilaktik juga bisa terjadi akibat faktor lain.
‘’Anafilaktik dapat terjadi terhadap semua vaksin, terhadap antibiotik, terhadap kacang, terhadap nasi juga bisa, terhadap zat kimia juga bisa,’’ tambahnya.
Sebagai tambahan informasi, anafilaktik adalah syok yang disebabkan oleh reaksi alergi yang berat. Syok Anafilaktik membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat.
Prof. Dr. Kusnadi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM., guru Besar UNPAD sekaligus Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Sinovac menegaskan, kejadian anafilaktik pasti akan terjadi untuk penyuntikan skala besar. Sudah menjadi tugas fasilitas pelayanan kesehatan, harus selalu siap mengantisipasi kemungkinan kejadian tersebut.
‘’Kalau kita lakukan vaksinasi 1 juta saja, 1-2 orang akan pingsan. Kalau yang disuntik 10 juta maka yang pingsan 10-20 orang, orang akan ribut, medsos akan bertubi tubi, media sibuk. Padahal memang seperti itu. Jadi kita harus siap siap,’’ ungkap Prof. Kusnadi
Padahal, kata dia, vaksinasi memiliki manfaat yang lebih besar dibanding resikonya. Vaksin yang saat ini dipakai dalam program vaksinasi aman, sesuai dengan rekomendasi WHO, memiliki reaksi lokal dan efek sistemik yang rendah, memiliki imunogenitas tinggi serta efektif untuk mencegah Covid-19.
Sejauh ini reaksi anafilaksis tidak ditemukan dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Hanya ditemukan reaksi ringan. Misal sering mengantuk seperti yang dialami oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Rafrafi Ahmad
Jika terjadi reaksi anafilaktik pasca vaksinasi Covid-19, pemerintah telah mengaturnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 12 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.
‘’Sudah ada di Peraturan Menteri Kesehatan, sudah ada kit anafilaktik yang harus disediakan, sudah ada petunjuk mengenal gejala nya, sudah ada tanda petunjuk untuk cara pelaksanaan vaksinasi,’’ ucap Prof Hindra. (rdt)