Dalam pemaknaan sebuah kata, tentu saja tidak akan pernah terlepas dengan majas atau gaya bahasa. Salah satu gaya bahasa yang akan dibahas adalah gaya bahasa eufemisme. Majas eufemisme adalah penggunaan kata yang sepadan yang memiliki makna lebih halus untuk mengganti kata yang kurang etis. Penggunaan majas eufemisme sebenarnya sangat sering kita jumpai dan kita dengar. Biasanya majas eufemisme ini digunakan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, karyawan dengan bos, orang yang belum akrab atau belum kenal sebelumnya, dan lain sebagainya. Contoh majas eufemisme yaitu kata difabel. Difabel sendiri digunakan untuk mengganti kata orang cacat. Kata difabel digunakan untuk memperhalus kata “orang cacat” guna meminimalisasi ketersinggungan pada saat berkomunikasi atau sekadar menyampaikan informasi.
Di masa pandemi ini penggunaan eufemisme semakin berkembang pesat. Entah karena pola emosi masyarakat di masa pandemi yang kurang stabil atau memang pola pemikiran masyarakat yang mengakibatkan ketersinggungan antar satu sama lain kian tinggi. Dalam hal ini tentu ketersinggungan yang dimaksud yaitu mengenai pemakaian kata saat berkomunikasi atau menyampaikan informasi.
Perkembangan kosa kata yang memuat tentang majas eufemisme dalam pemaknaanya di masa pandemi ini semakin berkembang. Banyak kata-kata seperti dirumahkan, dibebastugaskan, dan diberhentikan yang memiliki makna sepadan dengan “dipecat”. Hal tersebut dilakukan agar tetap menjaga keharmonisan dalam komunikasi, karena kata “dipecat” dianggap kasar dan tidak sopan. Langkah dalam memilih diksi atau kata seperti itu memang tidak semua orang akan paham hal itu, namun saling mengingatkan dan memberi masukan adalah salah satu cara mengudukasi masyarakat untuk tetap memilih kata-kata yang sopan dan halus.
Diksi lain seperti berpulang, meninggal, dan tutup usia sebenarnya juga memiliki makna yang sama yaitu digunakan untuk “orang mati”. Kata “mati” dianggap kasar dan tidak etis jika digunkan untuk berkomunikasi atau sekadar memberikan informasi. Contoh lain yaitu kata “ekonomi bawah” yang digunakan untuk menggantikan kata “orang miskin”, “ekonomi atas” digunkan untuk menggantikan penyebutan untuk “orang kaya”, penggunaan kata “pasien” untuk menggantikan kata “orang sakit”, kemudian kata “kurang makan” untuk menggantikan kata “kelaparan” dan masih banyak kata-kata yang sengaja dihaluskan atau dicarikan kata yang memiliki makna sepadan dan lebih sopan.
Kata-kata tersebut jika dilihat dari sudut pandang pemaknaan bahasa termasuk dalam kategori majas eufemisme. Contoh lain yang termasuk dalam majas eufemisme yaitu, tuna rungu, tuna daksa, tuna wisma, tuna susila, pramuniaga, pramuwisma, dan lain sebagainya.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa pentingnya memilih kosa kata yang lebih halus? jawabanya tentu saja penting. Mengapa penting? Karena jika melihat pola sosiokultural masyarakat Indonesia yang terkenal ramah dan sopan, sangat tidak heran jika penggunaan kata dalam berkomunikasi sangat penting untuk diperhatikan. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, di mana orang-orang seperti sangat mudah tersinggung.
Ketersinggungan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah berasal dari cara penyebutan atau salah bicara seseorang terkait suatu hal maupun peristiwa. Contoh kasus seperti ketika ada pejabat mengatakan bahwa “masyarakat sangat bengal dan tidak bisa diatur”, misalnya. Kata seperti contoh tersebut bisa menjadi sebuah masalah jika benar-benar diucapkan karena terlihat kasar dan kurang santun. Kata-kata seperti “bengal” dan “tidak bisa diatur” bisa diganti dengan kata yang memiliki makna sepadan misalnya kurang disiplin, tidak menerapkan aturan atau dengan kata yang lain yang lebih sopan dan lebih etis.
Contoh lain yang masih sangat relevan adalah ketika ada mahasiswa meminta izin ke belakang atau ke kamar kecil kepada dosennya. Kata “ke belakang” dan “kamar kecil” digunakan untuk menggantikan kata “kamar mandi” atau “toilet”. Karena kata “kamar mandi” dianggap tidak sopan dan kasar. Dari dua contoh masalah kecil seperti itulah seharusnya kita dapat belajar memahami komunikasi berdasarkan konteks yang sedang dialami. Memahami kondisi psikologis masyarakat juga menjadi salah satu cara untuk terhidar dari kekacauan akibat dari salah memilih kata.
Sebenarnya banyak sekali manfaat ketika kita paham lawan bicara kita, pendengar kita atau audience. Seperti kata pepatah yang mengatakan bahwa “ikan saja, hidupnya akan selamat jika senantiasa menjaga mulutnya” pepatah tersebut memiliki artian bahwa ikan saja akan selamat dari pemancing jika senantiasa menjaga mulutnya, begitu juga manusia. Oleh sebab itu sangat banyak sekali manfaat jika mau mempelajari bahasa, mulai dari pola struktur sampai pemaknaanya salah satunya eufemisme ini.
Sebenarya masih banyak lagi dimensi-dimensi bahasa jika dipelajari lebih dalam, namun yang lebih penting adalah mampu menguasai dan memilih kata yang tepat secara kontekstual sudah bisa dikatakan cukup untuk bekal berkomunikasi atau sekadar menyampaikan informasi.
Tulisan ini diharapkan mampu memberikan sedikit informasi mengenai pemaknaan dan pemilihan kata. Pemahaman-pemahaman tentang kebahasaan memang sangat perlu untuk dipelajari. Pemahaman tentang majas eufemisme bertujuan untuk mengungkapkan ungkapan-ungkapan yang halus dengan menggantikan ungkapan yang dirasa kasar dan tidak etis dengan ungkapan yang baik, sopan, dan etis. Dari tulisan ini semoga kita bisa bersama saling belajar cara berbahasa dan mengungkapkan sesuatu dengan baik. Agar dalam proses penerapanya bisa menjauhkan kita dari masalah akibat ketersinggungan antar sesama manusia. Tulisan ini tidak serta merta menjadi rujukan utama, karena masih dikhawatirkan memiiliki kesalahan-kesalahan baik sengaja maupun tidak disengaja.
Penulis:Afif yudi Kurniawan
( Mahasiswa Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah malang)