Malang – Sengketa pemanfaatan tanah kas desa (TKD) untuk lahan jeruk di Desa Selorejo Kecamatan Dau makin meruncing. Meski sudah diproses di meja hijau, belum ada penyelesaian.
Sengketa ini, bermula tahun 2013. Berawal dari kesepakatan, antara petani dengan Pemdes Selorejo. Bahwa TKD ditanami jeruk.
Menurut Kuasa Hukum petani, Wiwied Tuhu Prasetyanto, hal itu merupakan kontrak jangka panjang. Sebab menurutnya, tanaman jeruk baru bisa berbuah optimal setelah ditanam dan berusia 7 tahun.
“Jadi, meski pembayaran dicicil tiap tahun. Selama kurang lebih 7 tahun. Petani hanya merawat. Tanpa memetik hasil. Nah sejak tahun 2013, petani yang merawat. Selalu membayar sewa. Tapi belum menikmati hasil. Ternyata tahun 2020, petani tiba-tiba mau disuruh meninggalkan tanamannya. Ini ‘kan jelas menjadi tidak fair. Sudah merawat, tapi waktu mau panen, tanaman diambil. Tentu saja petani melawan,” ujar Wiwid.
Berdasarkan hal itulah, beberapa petani yang mengelola TKD itu, berupaya mempertahankan. Cara yang ditempuh, dengan melayangkan gugatan. Tujuannya, untuk mempertahankan kesepakatan yang dulu pernah dibuat.
“Kami berharap, dengan adanya sengketa ini. Semua pihak dapat menahan diri. Agar tidak berbuat anarkis, serta menghormati hukum,” ujarnya.
Perkara ini belum ada kekuatan hukum tetap (inkrah), kata Wiwied. Maka, status TKD yang jadi obyek sengketa adalah status quo. Artinya, tetap dalam pengelolaan petani, yang sudah merawat sekian tahun. Apalagi tanaman jeruknya, memang ditanam oleh petani.
“Kalau jeruknya mati, ‘kan percuma juga bersengketa di pengadilan. Mesti dicatat, petani jeruk ini tidak bermaksud memiliki tanah. Tapi meminta agar kesepakatan tetap dilanjutkan. Sebab petani sudah terlalu lama hanya mengurusi. Belum menikmati hasil,” terangnya.
Dari sudut pandang hukum, ia menyebutkan. Bahwa perkara ini adalah perdata. Sangat naif apabila ada yang menyebut petani bida dipidanakan dalam perkara ini.
Sebab awal mulanya jelas merupakan perikatan perdata. Tujuannya, mendapatkan untung. Sementara hingga saat ini, petani belum mendapatkan untung. Sehingga menuntut untuk tetap melanjutkan kesepakatan. Setidaknya sampai mendapatkan untung.
Pihaknya juga membantah, jika para para petani dituding sudah mendapat keuntungan. Bahkan mencapai miliaran rupiah dari hasil mengelola lahan jeruk itu. Ia menegaskan, hal itu sangat tidak logis dan lemah dari sisi matematis.
Pasalnya, luas lahan sekitar 24 hektar. Dibagi seratusan petani yang menyewa. Umur pohon jeruk, baru berbuah baik setelah 7 tahun ditanam. Sangat tidak mungkin petani yang menanam sekitar 2013, pendapatannya sudah mencapai miliaran rupiah.
Selain itu, dengan pemanfaatan TKD saat ini, Pemdes dinilai banyak diuntungkan. Sebab, meskipun belum menghasilkan. Petani yang menyewa lahan, telah membangun akses jalan dan saluran irigasi.
“Jadi andaikan saja Kepala Desa Selorejo ini fair dan jujur dengan membuat APBDes. Tentu dapat diketahui publik berapa pendapatan desa sebenarnya,” tegas Wiwied.
Ia menambahkan. Kenyataannya keuangan hasil tanah desa yang seharusnya masuk APBDes, juga ditemukan ketidakjelasan penghitungannya. Sebab, tidak bisa diakses publik.
“Daripada obral statement picisan merasa banyak difitnah. Menuduh petani serakah telah untung miliaran, mending adakan rembug desa. Membahas bagaimana mengelola Desa Selorejo dengan harmonis dan mensejahterakan semuanya. Tunjukkan APBDes biar semua orang tahu dan ikut partisipasi meningkatkan pendapatan desa. Jangan sampai terjadi pengelolaan desa model tiran,” pungkasnya. (riz/jan)