Malang – Akses internet belum merata di Indonesia. Ini memaksa beberapa sekolah tetap melakukan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) secara luring (luar jaringan). Meski pandemi masih melanda.
Kendala akses internet ini disebabkan belum adanya infrastruktur jaringan. Sehingga sinyal sulit didapat. Bahkan tidak ada sama sekali.
Sementara proses KBM harus tetap berjalan. Maka tim Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bergerak.
Dilakukanlah penyuluhan atau sosialisasi protokol kesehatan secara rutin di Sekolah Dasar (SD) Desa Prancak Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan. Agenda ini dilaksanakan sejak Desember 2020.
Tidak hanya sosialisasi tapi juga membimbing penerapan prokes. Paling mendasar adalah protokol kesehatan 3 M. Harus bisa diterapkan semaksimal mungkin.
Seperti: Mencuci tangan sebelum masuk kelas. Menggunakan masker. Menjaga jarak. Kebersihan lingkungan areal sekolah, juga ditingkatkan.
Venieda Dwi Fitria, perwakilan tim mengungkapkan. Tidak banyak warga desa yang benar-benar paham protokol kesehatan.
Akibatnya, untuk penerapannya juga belum optimal. Karena mereka belum paham juga fungsi dan tujuan prokes.
Hal itu diketahui, saat timmnya melakukan survei langsung ke desa Prancak. Banyak warga yang tidak disiplin menggunakan masker dan seringkali berkerumun.
“Angka positif covid di sini memang rendah. Mungkin hal itu yang membuat mereka kurang memperhatikan protokol kesehatan,” jelas mahasiswa kelahiran Kalimantan ini.
Berangkat dari realita itu, mereka memutuskan untuk mengedukasi warga terkait protokol kesehatan. Utamanya kepada anak-anak yang bersekolah secara luring.
Ternyata program kegiatan tim mereka, disambut baik oleh pemerintah setempat. Bukan sekedar sambutan. Bahkan pemda setempat melengkapi mereka dengan bantuan sesuai prokes.
“Kami mendapatkan bantuan berupa masker, sabun cuci tangan dan hand sanitizer dari Dinas Kesehatan setempat,” jelas Venieda.
Anak kedua dari dua bersaudara ini juga menceritakan berbagai kesulitan yang dihadapi. Mereka alami saat melakukan sosialisasi. Salah satunya adalah, anak-anak yang tidak fasih berbahasa Indonesia.
Warga dan anak-anak terbiasa menggunakan bahasa lokal. Bahasa Madura. Padahal tidak satupun anggota tim yang bisa bahasa itu.
“Anak-anak kelas tiga ke atas, mungkin sudah bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Namun tidak ada satupun siswa kelas satu dan dua yang fasih berbahasa Indonesia. Jadi kami meminta bantuan guru-guru untuk menerjemahkan,” lanjut Venieda.
Tim ini juga memiliki keterbatasan pada sarana transportasi. Setiap harinya, mereka harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki. Selama tiga puluh menit. Dari tempat menginap sampai ke sekolah.
“Kebetulan kepala desa menyediakan tempat tinggal. Mengingat kami semua berasal dari luar daerah. Namun jarak dari pintu masuk desa ke sekolah sangat jauh. Kami juga tidak memiliki kendaraan untuk dipakai di sini,” pungkas mahasiswa Fakultas Hukum ini. (roz/jan)