Malang – Inflasi Kota Malang, Desember 2020 mencapai 0,34 persen. Naik sedikit dibanding inflasi November 2020, sebesar 0,31 persen.
Ini disampaikan terbuka kepada publik oleh Kepala BPS Kota Malang, Sunaryo melalui platform zoom, Senin (4/1) siang.
Selama 12 bulan, Kota Malang mengalami lima kali deflasi dan tujuh kali inflasi.
“Desember 2020, inflasi terendah. Dibanding Desember 2018 sebanyak 0,50 persen. Sedangkan Desember 2018, inflasi sebesar 0,65 persen,” jelas Sunaryo.
Sepuluh komoditas yang mengerek inflasi antara lain, kenaikkan harga teh siap saji, cabe rawit, tomat, telur ayam, daging ayam ras dan lainnya.
Harga cabe rawit pernah mencapai Rp 5000 per setengah ons. Sedang telur ayam pernah mencapai lebih dari Rp 27.000 per kg.
Bidang kesehatan, kenaikkan antara lain disumbang oleh obat gosok dan obat maag. Untuk pakaian, ada kenaikkan harga di jas hujan. Transportasi udara juga mengalami kenaikkan sebesar 3,25 persen atau memberi andil 0,04 persen.
Deflasi terjadi, karena harga emas perhiasan mengalami penurunan. Menyebabkan inflasi agak mengurangi gas.
Beberapa komoditas yang turun seperti buah naga, bawang merah, alpukat, pisang, mangga, kentang, klengkeng, salak dan shampo.
Pada pertemuam virtual itu, Kepala BPS juga menyampaikan data kemiskinan dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) 2020. Dikatakan, kondisi pandemi covid-19, sangat mempengaruhi berbagai hal. Bisa dikatakan berdampak ke semua bidang.
Jumlah penduduk miskin Kota Malang sebesar 4,44 persen. Pada 2019, sebesar 4,07 persen. Prosentase penduduk miskin di Jatim terendah kedua setelah Kota Batu. Disusul Madiun, Surabaya dan Sidoarjo. Sedang IPM Kota Malang mencapai 81,45.
“Ini sejak 2015 selalu di atas 80. Patut disyukuri karena IPM Kota Malang tertinggi kedua di Jatim,” papar Sunaryo.
Sehingga harapan lama sekolah hingga sampai perguruan tinggi (15,51 tahun). Namun pertumbuhan IPM terakhir melandai. Pada 2019 mencapai 81,32. Pada 2018 mencapai 80,89. Sedang 2014 sebanyak 78,96.
Sementara itu, pada awal tahun 2021, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskopindag) Kota Malang melakukan antisipasi. Terutama stok kedelai. Dipastikan aman hingga masa Lebaran 2021.
Ini disampaikan Luh Eka, Kasi Pengendalian dan Pengawasan Diskopindag Kota Malang. Usia meninjau ketersediaan stok kedelai di koperasi sentra industri tempe Sanan Kota Malang, Senin (4/1).
Dia melakukan peninjauan menindaklanjuti harga kedelai impor di pasaran yang melonjak drastis. Dari Rp 7.000 per kilogram, kini menjadi Rp 9.000 per kilogramnya.
“Saya tadi meninjau ke koperasi di Sanan. Katanya, lonjakan harga itu tidak masalah. Karena pembuat tempe, maupun konsumen sudah terbiasa dengan kenaikan tersebut,” ujarnya.
Pihak koperasi memperkirakan, sekitar Maret 2021 harga kedelai akan turun. Luh Eka mengatakan, produksi tempe Sanan terus berjalan. Meski ada lonjakan harga kedelai impor.
“Produksi jalan terus. Gak ada masalah. Stok aman sampai Idul Fitri tahun ini,” ucapnya.
Pihaknya juga melakukan survei ke sejumlah pasar di Kota Malang. Seperti Pasar Tawangmangu dan Pasar Bunul. Belum ditemukan lonjakan harga tempe yang dijual pedagang.
“Harga tetap sama. Rp 2000 per potong. Itu harga ecerannya. Karena retail beli hanya 5 kilogram jualnya. Kisaran Rp 10-12 ribu per kilogram kedelainya. Lebih mahal di pasar. Karena kalau beli di koperasi harus 50 kilogram,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kota Malang, Chamdani mengatakan. Gejolak kenaikan harga memang sudah biasa terjadi tiap tahun.
Ini kemungkinan tidak lepas dari strategi pasar bebas global. Mengarahkan distribusi ke daerah-daerah tertentu. Sehingga mengakibatkan kenaikan harga di daerah lain.
“Berdasarkan pengalaman, akhir Februari atau awal Maret biasanya terindikasi kebutuhan kedelai di negara kita akan tercukupi kembali,” ucapnya.
Meski demikian, beberapa produsen tempe menyiasatinya. Mereka memperkecil ukuran tempe yang dijual. Agar harganya tetap dan tidak mengalami kenaikan.
Menurutnya, produsen atau perajin tempe sudah biasa menerapkan strategi itu. Sebagai antisipasi kenaikan harga bahan pokok atau kedelai.
“Kalau menaikkan harga eceran, sangat riskan. Tapi kebanyakan perajin khususnya saya, memperkecil ukuran sekitar 15 hingga 20 persen. Meski harga tidak naik, tapi ukuran tempe berkurang. Nah, otomatis kenaikan harga keripik tempe ya sekitar itu,” tandasnya. (Jof/jan)