Batu – Kota Batu, penuh sejarah. Pada jaman kolonial, merupakan kawasan favorit penjajah. Karena cuacanya sangat mendukung. Memiliki rata-rata suhu udara 11-19 derajat celcius. Cocok bagi bangsa Belanda.
Bahkan sejak abad ke-10, wilayah Kota Batu dikenal sebagai tempat peristirahatan. Bagi kalangan keluarga kerajaan. Karena wilayahnya berada di daerah pegunungan. Kesejukan udara yang nyaman. Didukung keindahan pemandangan alam. Ciri khas daerah pegunungan.
Kekaguman bangsa Belanda terhadap keindahan dan keelokan alam Kota Batu. Menjadikan Kota Batu sejajar dengan sebuah negara di Eropa, yaitu Swiss. Hingga dijuluki sebagai De Kleine Zwitserland atau Swiss Kecil di Pulau Jawa.
Nilai historis seperti itu, tentunya di Kota Batu banyak sekali peninggalan-peninggalan bersejarah. Seperti bangunan-bangunan bekas para penjajah ataupun bangunan cagar budaya berupa candi dan sebagainya.
Namun sayangnya, belum ada Perda yang mengatur kelestarian bangunan-bangunan itu semua. Sehingga sangat rentan akan kepunahan.
Arkeolog dan Sejarawan, Dwi Cahyono mengulasnya. Kota Batu saat masih kecamatan, perkembangannya belum pesat. Begitu menjadi kota administratif (kotatif), langsung melesat. Hingga menjadi sentra wisata seperti saat ini. Tingkat perkembangannya melaju sangat cepat.
“Laju perkembangan begitu cepat itu. Konsekuensi dari jejak-jejak pembangunan kota. Cepat atau lambat, pasti akan mengalami perombakan ataupun perubahan. Bahkan bisa juga menyebabkan kemusnahan yang akan digantikan dengan bentuk-bentuk yang baru,” ujarnya.
Oleh karena itu, Kota Batu sangat memerlukan perda (peraturan daerah) tentang cagar budaya. Sebenarnya, ini sudah sangat terlambat bagi Kota Batu. Padahal di kota-kota lain sudah memiliki.
Tak hanya itu, katanya. Kota Batu seharusnya memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Dua hal itu (Perda dan TACB), menurutnya bisa menjadi pra kondisi bagi kelestarian.
Lantaran perda cagar budaya itu, bisa berguna untuk dua hal. Sebagai regulasi atau dasar hukum untuk melestarikan dan memanfaatkan.
Menurutnya, jangan mengambil manfaat lebih dulu, sebelum melestarikan. Karena kebanyakan orang, keburu nafsu untuk memanfaatkan. Sehingga melupakan kelestariannya.
“Oleh karena itu, tahapan-tahapan tadi harus dilakukan. Yakni dengan dilakukannya pelestarian terlebih dahulu baru dimanfaatkan,” katanya.
Perda cagar budaya dan TACB, sangat penting. Keberadaannya sangat diperlukan bagi Kota Batu.
Sehingga kedepannya, bisa melindungi dan melestarikan jejak-jejak masa lampau. Seperti arsitektural. Peninggalan atau yang biasa disebut heritage. Termasuk paduan natural heritage dan cultural heritage.
“Seperti contohnya yang ada di Songgoriti atau saujana. Bisa tampil ke publik. Karena baik perda ataupun TACB-nya sudah dibentuk,” ujarnya.
Dirinya berharap. Kedepannya wisata histori dan kultural juga bisa hadir. Sebenarnya sudah ada. Namun selama ini kondisinya tak sekaya wisata artifisial atau wisata naturalnya.
Wisata histori bisa hadir dan terus lestari, jika dilindungi perda cagar budaya.
“Di sini untuk wisata kulturalnya masih belum sepenuhnya hadir. Bukan berarti tidak punya. Namun, karena eksplorasinya yang telat. Sudah sangat telat menurut saya,” tutupnya. (ant/jan)