Malang – Sepak Bola kaum hawa di Indonesia, sejatinya pernah mencapai masa-masa keemasannya. Di era 1970 hingga 1990-an. Geliat dan hingar bingar, tak saja menjadi warna tersendiri di even-even domestik di Tanah Air. Seperti yang pernah dimotori klub Buana Putri dalam tiga dekade. Namun juga prestasi Timnas Indonesia Putri era 1970-1990 di kawasan Asean selalu berkibar.
Pada level Asia pun, Garuda Putri, julukanTimnas Indonesia Putri, era 1970-1980 tak pernah lepas dari empat besar. Bersama Taiwan (Chinese Taipei), Jepang dan China. Akan tetapi memasuki era 2000-an, hingga saat ini, sepak bola wanita Indonesia, mulai tertinggal dan ditinggalkan rival-rivalnya.
‘’Memang sepak bola putri kita di Indonesia, memerlukan kompetisi atau turnamen dengan jadwal pasti. Itu adalah tujuan dari pembinaan. Tertinggal dengan negara-negara lain, bahkan kawasan ASEAN. Saat ini makin banyak klub dan SSB putri berdiri. Baik di Pulau Jawa, Kalimantan dan Papua. Tapi jika tidak ada kompetisi, percuma saja. Jangan hanya dianggap dilakukannya pembinaan sepak bola wanita, sebagai penggugur kewajiban saja,’’ ujar Manajer Arema FC Putri, Fuad Ardiansyah.
Jangankan level Asia. Di level Asia Tenggara pun jauh di bawah Vietnam dan Thailand. Hanya selevel dengan Myanmar, Malaysia dan Filipina. Bahkan peringkat Indonesia pada FIFA Women Ranking, berada di posisi ke-87 dunia atau ke-14 Asia dan ke-6 Asean. Di bawah Vietnam, Thailand, Myanmar, Filipina dan Malaysia.
‘’Tetapi kami, Arema FC Women, jelang akhir tahun 2020 ini, mencoba membuktikan. Jika semua terencana dan terjadwal. Baik latihan, uji coba serta turnamen atau kompetisi, pasti sepak bola wanita bisa menarik minat sponsor. Bahkan penonton.’’
‘’Kami ingin menjadi perintis awal di Indonesia. Totalitas membangun sepak bola wanita profesional yang sesungguhnya, dalam banyak sisi. Baik untuk performa teknis tim, maupun sisi nilai jual untuk sponsorship dan sisi entertain. Dengan mendatangkan pemain-pemain kualitas kelas timnas. Namun juga menarik dari sisi meet and greet. Seperti Shafira Ika Putri misalkan,’’ imbuh Fuad Ardiansyah.
Bahkan pada musim perdana Liga 1 Putri 2019 lalu pun, baik pada babak penyisihan empat seri, di dua grup barat dan timur, hingga fase semifinal dan grand final, sepi dari minat penonton. Paling banyak dihadiri tak lebih dari 300 atau 500 penonton. Itupun sebatas kolega pemain atau pengurus.
Kehadiran empat amunisi Timnas Indonesia Putri, di skuad tim berjuluk Ongis Kodew, yakni Regina Tiofanny Herdiyanta, Susi Susanti, Sabrina Mutiara Firdaus Wibowon dan terutama Shafira Ika Putri Kartini, justru mampu melambungkan Arema FC Women.
Tak hanya dari sisi entertain atau social media, seperti akun instargram mereka, yang kini melonjak 10 kali lipat. Menjadi 31.200 followers hanya dalam tiga bulan terakhir. Juga sisi sponsorship, bak magnet yang berdatangan dan penjualan merchandise di Arema Official Store meroket tajam.
‘’Thailand timnas putrinya bisa lolos ke FIFA Women’s World Cup 2019 di Prancis, karena mereka memiliki kompetisi teratur. Indonesia pernah jaya di era 1970-1990-an. Sekarang harus move on dengan pembinaan dan kompetisi lebih baik lagi. Itu yang kami katakan. Arema FC Women dengan sisi entertain, tidak bisa sendirian tanpa pergerakan tim-tim Liga 1 Putri lainnya dan federasi. Untuk membangun secara utuh dan profesional persepakbolaan wanita di Indonesia,’’ tandas pria kelahiran Malang, 30 Januari 1975 tersebut. (act/rdt)