Batu – Among Tani Foudation (ATF) punya terobosan lagi. Apa itu? Gagasan mewujudkan usaha kolektor di Kota Wisata Batu (KWB). Mewujudkan hal tersebut, ATF sudah memulai. Salah satunya dengan pameran barang antik bernama Batu Vintage.
Upaya membangkitkan gairah barang antik juga dilakukan. ATF pun menggelar diskusi menarik. Pematerinya arkeolog kenamaan, Dwi Cahyono. Serta kolektor yang punya berbagai museum, Reno Halsamer.
Keduanya menyampaikan pemikirannya. Lugas dan sangat jelas, upaya mewujudkan keinginan itu. Diskusi berlangsung di markas ATF Jl Hasanudin, Pesanggrahan, Kota Batu, Senin (28/12) sore.
“Sudah seharusnya Kota Batu memiliki wadah bagi komunitas kolektor berkumpul. Sebagai salah satu Kota Wisata. Hal itu sangat wajib dimiliki Kota Batu,” beber Reno Halsamer.
Dikatakannya, Kota Batu sangat cocok sebagai kota wisata. Sudah sepantasnya memiliki destinasi wisata vintage. Karena di sejumlah negara dan kota di Indonesia, berhasil menjadi lebih terkenal dengan tempat wisata seperti itu.
“Contohnya di Thailand. Atau Kota Solo, Yogyakarta. Kota Batu sangat cocok untuk memiliki pasar seperti itu,” katanya.
Pasar antikan, bisa menjadi destinasi wisata baru. Karena nantinya, tak hanya berfungsi sebagai pasar saja. Namun bisa dibuat berbagai macam tempat kuliner.
“Setiap orang yang datang, tak harus membeli. Tapi bisa merasa senang. Dengan melihat barang-barang antik, bisa mengingat masa lalu. Bahwa dulu pernah memiliki barang tersebut,” ujarnya.
Maka, dirinya bersaran. Jika pasar antikan itu, harus benar-benar terwujud. Hadir di Kota Batu.
“Lebih baik menjual barang vintage-vintage saja. Jadi tidak memperjual belikan benda-benda cagar budaya. Seperti misalnya benda-benda candi atau patung candi,” sarannya.
Selain berbahaya, karena ada undang-undang yang melindungi. Menjual barang seperti itu, peminatnya juga sedikit. Karena orang-orang jarang mau beli. Disebabkan keasliannya tak ada yang bisa menjamin.
“Tapi kalau barang vintage. Seperti mebel, kayu, lampu, telpon bekas dan semacamnya. Saat ini sedang digandrungi banyak orang. Sehingga peluang bisnisnya sangat besar,” ungkap Reno.
Karena menurutnya, saat ini orang-orang itu tak hanya menjadi kolektor saja. Namun juga dijadikan interior menghiasi kediamannya. Agar menambah daya tarik.
“Tak hanya di rumah. Bahkan di hotel-hotel ataupun restoran. Saat ini sudah banyak yang menggunakan interior dengan menampilkan barang-barang vintage,” kata dia.
Sisi lain, jika nantinya terwujud pasar antikan di Kota Batu. Maka, harus ada edukasi yang tersalur. Antara pembeli dan pedagang.
“Jika barang itu asli, maka ya dikatakan asli. Dijelaskan asal muasalnya. Namun jika barang itu repro, juga harus dikatakan semestinya,” paparnya.
Karena dengan kejujuran itu, pembeli semakin percaya. Bahwa di Kota Batu punya pasar antikan yang pedagangnya jujur-jujur. Menurutnya, berjualan barang seperti itu asal muasalnya dari mulut ke mulut. Sehingga jika pasar antikan Kota Batu memiliki kejujuran, sudah pasti akan dicari orang.
Sementara itu, arkeolog gaek Dwi Cahyono menjelaskan. Barang antik, bisa didefinisikan antik, ketika sudah berusia lebih dari 50 tahun. Atau memiliki nilai historis, yang terkandung dalam barang tersebut.
“Salah satunya, nilai kelangkaan, keunikan, kebudayaan dan informasi yang terkandung. Serta salah satu yang tak kalah penting adalah riwayatnya,” jelas Dwi.
Tak hanya itu, nilai dibaliknya juga merupakan poin penting. Agar barang itu bisa dikatakan antik. Sehingga disini diperlukan pemaknaan yang digarap melalui narasi yang dilakukan dengan riset mendalam.
“Barang antik ini juga bisa dikatakan sebagai heritage. Jangan salah bahwa heritage saat ini oleh PPPI telah diartikan sebagai pusaka,” katanya.
Dwi menjelaskan, ada tiga macam pusaka. Yakni pusaka alam, pusaka budaya dan pusaka saujana. Di Kota Batu, memiliki ketiganya. Harus dilestarikan dan dimanfaatkan.
Namun, ia menilai. Pemkot Batu terlalu tertumpu pada pembangunan wisata artifisial atau buatan. Sehingga pusaka yang dimiliki Kota Batu tidak terlalu diperhatikan. Hal itu terbukti bahwa di Kota Batu tidak memiliki Perda Cagar Budaya. Juga Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
“Hal ini, membuat pelestarian, yakni konservasi dan preservasi serta pemanfaatan pusaka di Kota Batu sulit dilakukan. Karena tidak ada regulasi yang mengatur. Serta tidak ada penegak hukumnya,” pungkasnya. (ant/jan)