Pernah nggak, rekan-rekan pembaca mengalami keadaan dimana sedang asyik-asyiknya bercerita dengan teman dekat tentang hal-hal yang beberapa waktu lalu rekan-rekan alami namun ketika dipertengahan cerita rekan-rekan mendadak lupa detail kejadiannya? Misalnya ketika rekan-rekan ditanya alamat pasti tempat peristiwa yang rekan-rekan alami terjadi rekan-rekan hanya bisa menjawab, “Aku tidak ingat pasti dimana lokasinya. Yang pasti kejadian tersebut terjadi di depan minimarket yang ada di kota x bagian timur.” Lawan bicara rekan-rekan menjadi tidak mengerti karena minimarket tentu jumlahnya ada banyak.
Mungkin rekan-rekan akan merasa sedikit jengkel ketika rekan-rekan tidak bisa menjelaskan detail suatu kejadian secara spesifik kepada lawan bicara. Atau mungkin rekan-rekan kemudian akan berlindung dibalik kalimat, “Yah, namanya manusia nggak ada yang sempurna, wajar kalau lupa.” Tetapi sebenarnya, apa sih penyebab seseorang bisa lupa? Sebenarnya lupa itu merupakan hal yang wajar atau mengindikasikan suatu penyakit serius?
Secara tradisional, lupa dianggap sebagai suatu kerusakan di otak yang berkaitan dengan hilangnya memori yang telah tersimpan sebelumnya. Lupa (khususnya pada orang-orang di usia produktif) adalah salah satu bentuk gangguan memori dan atensi. Gangguan ini bisa terjadi ketika otak manusia kelebihan beban pikiran atau overload. Seperti misalnya memikirkan masalah pendidikan, karir, dan sebagainya yang dipikirkan secara terus-menerus lalu menjadi beban sehingga hal-hal yang dianggap sepele justru dilupakan karena terlalu fokus memikirkan masalah tadi.
Otak kita ibarat mesin yang apabila terlalu banyak diforsir dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beristirahat maka bisa overheat yang bisa menyebabkan penurunan kinerja pada mesin tersebut. Demikian juga otak kita, apabila otak kita terlalu banyak diforsir untuk memikirkan masalah-masalah kita, maka juga bisa menyebabkan penurunan fungsi otak. Selanjutnya dalam jangka panjang bisa terjadi gangguan memori dan atensi seperti menjadi gampang lupa akan beberapa hal.
Gangguan memori dan atensi bisa terjadi disebabkan oleh beberapa faktor dalam diri seseorang. Seperti faktor kepribadian misalnya, orang dengan pribadi yang mudah stress atau paranoid akan lebih mudah lupa dibandingkan orang yang memang pribadinya tidak mudah stress. Namun bisa juga karena faktor gangguan pada saraf yang mengakibatkan seseorang menjadi mudah lupa.
Dalam pemahaman teori tradisional ini, seseorang yang pelupa disarankan untuk mendatangi klinik yang berhubungan dengan saraf untuk dilakukan analisa lebih lanjut agar nantinya dapat diketahui bahwa sebenarnya gangguan lupa ini berkaitan dengan Alzheimer (kepikunan) atau hanya gangguan memori dan atensi karena kebiasaan-kebiasaan kita sendiri yang mengakibatkan hal itu bisa terjadi. Kebiasaan-kebiasaan yang dimaksud disini adalah kebiasaan seperti terlalu banyak tidur atau kurang tidur yang menyebabkan penurunan kinerja otak, konsumsi obat-obatan tertentu yang memiliki efek menekan fungsi kerja otak, dan kurangnya olahraga teratur sehingga jantung tidak bisa memompa oksigen dengan baik sehingga otak menjadi kekurangan pasokan oksigen.
Namun sebenarnya, lupa tidak selalu menunjukkan gejala terjadinya gangguan tertentu dan sebenarnya kemampuan untuk melupakan adalah bagian dari kehebatan otak kita, lho. Mengapa bisa demikian, ya?
Penelitian terbaru menjelaskan bahwa melupakan itu penting. Ilmuwan di zaman sekarang berpendapat bahwa tujuan biologis dari memori di otak bukanlah menyimpan informasi, tetapi untuk membantu otak membuat keputusan yang tepat. Dr. Maria Wimber dari University of Glasgow mengatakan bahwa, “Ada memori yang sebenarnya tidak kita inginkan dan tidak kita butuhkan. Melupakan itu baik dan merupakan hal yang adaptif.”
Kemampuan penyimpanan otak kita yang luar biasa menunjukkan bahwa otak memiliki sistem manajemen informasi yang baik dan dilengkapi pula dengan kemampuan untuk mereduksi data-data yang sudah tidak dibutuhkan lagi. Ronald Davis & Yi Zhong (2017) mengatakan bahwa, “Karena besarnya jumlah memori yang terakumulasi di otak sepanjang waktu, tampaknya adalah hal yang logis jika otak harus memiliki mekanisme untuk menghilangkan ingatan yang sudah usang.”
Jejak memori kita yang hanya menyimpan inti dari hal-hal yang kita alami dan mereduksi ingatan yang spesifik akan membuat otak kita lebih fleksibel. Jika ingatan yang kita miliki terlalu pas, maka mungkin kita tidak dapat menggunakannya untuk membuat prediksi yang tepat di masa depan. Misalnya ketika seseorang terkena sengatan lebah lalu mengingat kejadian tersebut secara detail, mungkin orang tersebut tidak akan bisa mewaspadai jenis lebah yang berbeda di tempat yang berbeda karena yang orang tersebut ingat hanya jenis lebah yang berada di tempat dimana ia pernah terkena sengatnya. Namun ketika seseorang hanya mengingat ciri fisik yang menonjol dari lebah secara umum, orang tersebut menjadi bisa mewaspadai keberadaan jenis lebah di tempat yang berbeda dengan hanya mengingat ciri fisik yang menonjol dari lebah.
Otak kita dapat bertindak layaknya seorang hakim yang bisa memutuskan mana memori yang layak disimpan dan mana memori yang sebaiknya dibuang. Dalam banyak studi telah ditemukan bahwa hal ini juga tidak terlepas dari peran hormon dopamin yang membantu untuk mengikis memori yang sudah usang. Karena hormon dopamin itu tidak hanya berperan dalam mengatur emosi, tetapi juga berperan dalam mengelola daya ingat pada manusia.
Jadi, secara umum lupa bukan gangguan melainkan salah satu mekanisme otak dalam memanajemen data-data yang masuk secara besar-besaran setiap harinya agar lebih efisien. Justru, kurangnya kemampuan untuk melupakan pada manusia bisa jadi karena adanya indikasi gangguan pada spektrum otak misalnya autisme dan skizofernia. Hal ini disebabkan kemampuan otak untuk mereduksi jejak memori yang tidak diinginkan dan mengganggu secara berulang-ulang lemah.
Penulis : Avisa Rana Nabila
Mahasiswa jurusan Psikologi FISIP Universitas Brawijaya Malang