Malang – Majalah itu sudah sangat tua. Usianya ada yang lebih dari setengah abad. Dijajar rapi di atas meja. Sebagian malah ada yang di atas karpet. Karena tidak cukup menampung. Paling tidak jumlahnya sekitar 200 edisi majalah. Yang menjadi koleksi Musem Musik Indonesia (MMI).
Semuanya berasal dari tahun yang sudah tua. Terbitan 1967 sampai 1978. Ada delapan jenis majalah. Diskorina terbitan Yogya, Favorita dan Paradiso yang terbit dari Surabaya. Serta lima majalah dari Jakarta. Junior, Star, Top, Varia Nada dan Vista.
Satu persatu majalah itu di pindai. Halaman per halaman. Mulai cover sampai bagian paling belakang. Terkadang tidak cukup sekali. Jika dilihat di layar laptop, tulisannya kurang jelas. Atau kabur tidak terbaca. Bisa juga terlalu terang atau justru kegelapan.
Bukan pekerjaan mudah untuk memindahkan halaman per halaman, menjadi halaman digital. Kondisi yang sudah tua, menjadikan warna kertas menjadi berubah. Huruf pun terkadang sudah memudar. Butuh ketelitian dan kesabaran. Untuk membentuk kalibrasi warna, yang sesempurna mungkin. Agar saat membaca di online, menggunakan piranti apapun, seperti membaca majalah dalam bentuk cetak.
‘’Dan kami tidak punya waktu yang cukup lama. Hanya kurang sebulan. Mulai 15 November dan 10 Desember sudah harus diunggah ke website museummusikindonesia.id. Itulah salah satu pekerjaan kami. Untuk mendokumentasikan sejarah musik populer di Indonesia, tahun 1967-1978,’’ ujar Ir. Hengki Herwanto, MM., Ketua MMI.
Yang dilakukan MMI, adalah bagian dari program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK). Digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Dirjen Kebudayaan. Untuk membantu pembiayaan, atas kegiatan para pelaku budaya. Dalam rangka Pemajuan Kebudayaan Indonesia Tahun 2020. Dan MMI yang sudah berusia 11 tahun, wajib berbangga hati. Karena dari 2.000-an proposal yang masuk dan diterima panitia, hanya 129 proposal yang lolos seleksi. Tiga diantaranya dari Kota Malang. Salah satunya proposal yang diajukan MMI.
Bantuan pembiayaan pelaku budaya itu, bagi MMI, seperti menerima setetes air, di tengah kemarau panjang. Betapa tidak, akibat pandemi coronavirus disease, museum yang berada di Jalan Nusakambangan 19 Kota malang itu, tutup mulai Maret lalu.
Praktis sejak ditutup, tidak ada pengunjung dan pendapatan juga kosong. Itu masih ditambah dengan tunjangan rutin yang biasa didapatkan, juga dihentikan. Pun aktivitas di luar, seperti pameran, juga dihentikan. Di masa pandemi, tidak boleh ada aktivitas di luar.
‘’Dalam kondisi tersebut, kami membuat kegiatan internal saja. Seperti membersihkan koleksi museum, menata koleksi dan berkomunikasi lewat daring dengan dunia luar. Semua harus kami lakukan dengan protokol kesehatan yang ketat,’’ tambah Hengki.
Dan ternyata dalam kondisi drop diterjang Covid-19 itulah, Hengki dan pengurus museum yang lain, terselamatkan project FBK. Terlebih-lebih yang dimanfaatkan untuk project ini, adalah koleksi museum yang mereka rawat selama ini.
‘’Ketika semuanya lockdown atau stay at home dan work from home, kami juga me-lockdown-kan diri. Tapi di dalam museum. Mengerjakan project tersebut. Dengan ekstra hati-hati dan taat aturan,’’ cerita pria yang sekolah dasarnya di Madiun ini.
Dari delapan majalah tersebut –yang semuanya sekarang sudah tidak terbit- satu persatu dipindai. Halaman per halaman. Kemudian semua halaman dalam satu edisi, digabung dan dilengkapi dengan daftar isi. Tahap berikutnya adalah mengunggahnya ke dalam laman MMI. Untuk melengkapi pekerjaan ini, kata Hengki, dibuat pula buku catalog. Dicetak secara terbatas.
‘’Katalog berisi gambar cover dan daftar isi setiap edisi majalah. Dilengkapi pula dengan story telling dari delapan majalah dan petikan sejarah musik di Indonesia 1967-1978. Sebelumnya, kami sudah pernah melakukan untuk 200 edisi majalah Aktuil (Bandung). Terbitan 1967-1978. Pekerjaan ini terlaksana atas dukungan dana dari UNESCO melalui program MOWCAP (Memory of The World Committee Asia Pacific),’’ imbuhnya.
Kegiatan pendokumentasian ini, tambah pria yang selalu tampil dengan ikat kepala, merupakan ikhtiar awal. Untuk mengumpulkan tulisan-tulisan sejarah musik. Yang bertebaran di berbagai media.
‘’Ibarat sejarah di zaman kerajaan, barangkali ini bisa disamakan, dengan upaya menghimpun naskah-naskah daun lontar yang berceceran. Kegiatan yang mentransformasikan koleksi museum, dari wujud fisik ke wujud digital,’’ sebutnya.
Setidaknya dalam project ini, ada tiga manfaat yang didapatkan. Untuk pelindungan informasi agar tetap terjaga keberadaannya. Karena majalah yang berupa kertas, sangat rawan terhadap kerusakan. Bisa hilang dalam sekejap, apabila terjadi bencana kebakaran, banjir atau bencana alam lainnya.
‘’Manfaat lainnya, daftar isi yang terdapat dalam laman MMI, maupun catalog, dapat menjadi bahan baku pangkalan data, dalam Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu. Selain itu, informasi juga dapat diakses oleh masyarakat luas di seluruh wilayah dunia,’’ tambah Hengki, yang saat memberikan keterangan pers, didampingi Abdul Malik, Humas MMI.
Karena itulah, Hengki berharap kepada semua pelaku budaya di Kota Malang, untuk bisa memanfaatkan program FBK tahun 2021. Karena kesempatan terbuka tidak hanya untuk yang sudah berbadan hukum. Perorangan ataupun komunitas, juga memiliki peluang yang sama untuk memperoleh bantuan Pemerintah. Terlebih-lebih ketika pandemi Covid-19, tidak tahu kapan akan berakhir.
Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, Dr. Dian Kuntari, SSTP., M.Si., yang kemarin di Hotel Pelangi di acara Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020, Akses Publik Sejarah Musik di Indonesia, mengaku bangga dengan pencapaian Museum Musik Indonesia.
‘’Karena dalam kondisi pandemi seperti saat ini, MMI masih terus berkiprah dan mampu membuktikan diri sebagai episentrum dunia musik di Indonesia. Diterimanya proposal yang dikirim MMI, adalah pembuktian yang tak terbantahkan,’’ ujar Dian sembari berharap, sumbangsih MMI ini, bisa dicatat sebagai bentuk kepedulian terhadap pemajuan kebudayaan. (rdt)