Malang – Hidupnya sudah serba dalam kecukupan dengan menjadi seorang kontraktor. Namun, kecintaannya terhadap alam lebih besar dari pada hidup dengan serba kecukupan. Panggilan hatinya, ternyata pilih menjadi seorang monitoring hewan primata. Yakni Lutung Jawa.
Itulah tekat bulat Anang Eko. Dia pilih mengakhiri bekerja sebagai kontraktor demi menjadi monitoring Lutung Jawa.
Pertemuan pertama Anang Eko dengan Project Manajer Javan Langur Center (JLC) The Aspinal Program, Coban Talun, Kota Batu, Iwan Kurniawan, pada tahun 2014, makin memantapkan tekatnya untuk mengabdikan diri kepada alam.
“Waktu itu ketemu sama Pak Iwan di Malang Selatan. Beliaunya sedang melakukan survei populasi. Kemudian ngobrol banyak, dan setelah itu saya tertarik bergabung. Namun waktu itu masih menjadi seorang voulenteir,” ungkap Anang kepada DIs Way Malang Post, Kamis (10/12).
Setelah menjadi voulenteir, Anang makin mantap bergabung dengan JLC. Tepatnya pada tahun 2014 akhir dia resmi bergabung JLC, dan terus bertahan hingga saat ini.
“Seluruh pengalaman selama berada di alam tentu sangat mengasyikkan. Apa yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan orang yang memiliki idealisme tentang lingkungan, kebanyakan dari mereka hanya ngomong saja. Padahal, setelah benar-benar masuk ke dalam lingkungan alam, tak semudah seperti yang diomongkan,” bebernya.
Kalau sudah berani ngomong, seharusnya mereka juga berani terjun ke lapangan. Ketika nanti sudah di lapangan akan banyak sekali bertemu pengalaman baru. Mulai dari bertemu pemburu, perusak, dan perambah hutan. “Hampir setiap hari ketemu. Bahkan berantem di tengah hutan pun pernah,” papar Anang.
Bahkan, ancaman akan dibunuh sudah menjadi santapan setiap hari. Ancaman itupun juga tak hanya pada Anang saja. Namun, juga pada keluarga besarnya yang berada di Malang Selatan. Terutama kepada kedua orangtuanya.
“Setelah saya bergabung dengan JLC dan sering berada di hutan untuk memonitoring lutung, saya semakin merasa kecil. Bukan malah merasa besar diri. Ini karena, sering melihat perilaku lutung, mulai dari bangun saat terbit matahari, hingga tidur saat matahari terbenam,” ujarnya.
Sebagai manusia, kata Anang, harusnya lebih banyak belajar ke satwa liar. Karena, saat mereka makan hanya sesuai dengan kebutuhan tubuhnya saja. Sedang kita, makan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh nafsu. Pada, intinya kebanyakan manusia saat ini lebih banyak mengedepankan nafsu dari pada akal. Padahal setiap manusia telah diberi akal.
Diceritakan dia, selama menjadi seorang monitoring lutung di tengah hutan, juga banyak ditemui berbagai hal lucu. Ketika seekor lutung dilepas-liarkan di alam, mereka akan menemukan sesuatu hal yang baru. Mulai belajar melompat, bahkan hingga jatuh karena tak sampai ketika melompat.
Menurut Anang, selama masih ada pembeli satwa-satwa langka. Pemburu pasti juga akan selalu ada. Seorang pemburu dapat dibedakan menjadi tiga jenis, ada yang hobi, ada yang ikut-ikutan, dan ada yang karena faktor perut. Sebenarnya untuk faktor perut bisa dimentahkan. “Apa tidak ada pekerjaan lain selain memburu satwa langka,” jelasnya.
Untuk yang hobi, ini biasanya yang paling sulit diluruskan. Karena rata-rata tingkat ekonomi mereka bukan lagi menengah ke bawah. Namun di atasnya. Maka dari itu sulit untuk dihilangkan.
Kebanyak para pemburu, berburu dengan cara ditembak. Lalu diambil daging dan anaknya untuk dijual dan dikonsumsi. “Padahal kita dengan mereka sama-sama primata. Bisa dikatakan kanibal jika mengkonsumsinya. Ini karena DNA kita dengan lutung hampir sama. Hanya beda beberapa persen dan ukuran tubuhnya saja,” jelasnya.(ant/ekn)