Mungkin kita sering kali merasa ada yang salah dengan penampilan kita, kurang percaya diri dengan body image yang kita miliki, serta selalu membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang yang dirasa lebih cantik dan sempurna. Bahkan ada beberapa orang yang rela menghabiskan banyak waktunya di depan kaca hanya untuk mengabsen segala macam kekurangan yang dimilikinya. Jika terlalu dipikirkan perilaku-perilaku tersebut bisa mengancam nyawa, seperti halnya dilansir dari Daily Mail Reporter kasus Hannah Camillie gadis 26 tahun asal Walsall, Britania Raya yang selalu merasa bahwa fisiknya tidak sempurna hingga pernah melakukan setidaknya 8 kali percobaan bunuh diri namun selalu berhasil digagalkan.
Beberapa hal yang disebutkan tadi bisa saja mengarah pada gangguan mental yang biasa disebut dengan Body Dysmorphic Disorder. Istilah ini dulu pertama kali diciptakan oleh dokter asal Italia yaitu Enrico Morselli pada abad-19 dengan nama dysmorphophobia, yang kemudian disempurnakan oleh Diagnostic and Statistic Manual of mental Disorder (4th Ed) menjadi Body Dysmorphic Disorder (Philips, 2004).
Body Dysmorphic Disorder adalah keasyikan dengan cacat yang dibayangkan pada penampilan yang menyebabkan gangguan fungsional yang signifikan, yang mengarah pada ide bunuh diri dan kualitas hidup yang buruk (Phillips, 2001; Veale et al., 1996). Body Dysmorphic Disorder ini ditandai oleh kepercayaan yang salah atau pandangan yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mereka mengalami ketidaksempurnaan atau kecacatan (Kaplan & Sadock, 2010). Penderita sering kali mencemaskan hal-hal yang bahkan terlihat biasa saja di mata orang lain, serta kadang terlalu mendramatisir dan melebih-lebihkan ketidaksempurnaan pada fisik mereka. Mereka bahkan rela menghabiskan waktu 3 – 8 jam di depan cermin untuk memperhatikan penampilan fisiknya. Ketika menemukan sebuah ketidaksempurnaan maka cenderung akan cemas dan berusaha untuk menutupi ketidaksempurnaan tersebut. Biasanya hal-hal yang ditempuh untuk menutupi kekurangan mereka inilah yang cenderung mengacu pada hal-hal yang buruk. Contohnya melakukan diet yang berlebihan dan juga operasi plastik.
Penelitian yang dilakukan oleh Pope, Philips, dan Olivardia (2000) menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih memperhatikan penampilan fisik dibandingkan lelaki. Jadi, kebanyakan penderita yang mengalami Body Dysmorphic Disorder adalah perempuan. Menurut Philips (2009), BDD pada umumnya mulai bisa dilihat ketika seorang individu menginjak masa remaja, namun bisa juga berawal sejak kecil tapi tidak terdeteksi. Hal itu disebabkan karena masa remaja merupakan masa peralihan sehingga banyak bagian fisik yang ikut berubah. Perubahan fisik tersebut yang akhirnya menggiring persepsi remaja untuk mendefinisikan diri mereka sebagai seorang individu yang tidak sempurna. Biasanya bagian tubuh yang menjadi perhatian oleh penderita BDD ini diantaranya kulit, rambut, hidung, berat badan, dan perut (Philips, 2005).
Dikondisikan oleh kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial tubuh dan penampilan, dan juga dimediasi oleh kepekaan perasaan terhadap penolakan orang lain (Lavell et al., 2014b). Hal-hal tersebut yang menjadi faktor penyebab seorang individu mengalami BDD. Salah satunya yaitu ketidakmampuan seorang individu untuk mengikuti standar kecantikan yang ditetapkan oleh lingkungan sekitar. Sadar atau tidak lingkungan kita sekarang ini sudah memiliki standar kecantikan bagi seorang perempuan. Walaupun tidak secara terang-terangan dikatakan, namun kita pasti sudah cukup menyadari bagaimana standar kecantikan yang ditetapkan di Indonesia. Yaitu, cantik haruslah orang-orang yang memiliki body image goals seperti langsing, berkulit putih, berambut lurus, serta pandai menjaga penampilan. Kenapa bisa muncul standar seperti itu? Salah satu faktor penyebabnya adalah media. Adanya kontes kecantikan, iklan produk kecantikan, serta akun instagram yang memposting foto-foto perempuan cantik, hal-hal itulah yang akhirnya menyebabkan adanya suatu doktrin tentang “bagaimana seorang wanita bisa dikatakan cantik”.
Studi neuropsikologis dan pencitraan otak menunjukkan bahwa pemrosesan informasi abnormal dapat mempengaruhi terjadinya BDD (Deckersbach et al., 2000, Feusner et al., 2010, Feusner et al., 2007b, Yaryyura-Tobias et al., 2002). Feusner dkk. (2010) melakukan studi fMRI tentang pemrosesan wajah sendiri pada 17 individu dengan BDD dan 16 kontrol sehat. Mereka menemukan hipoaktivitas abnormal pada kelompok BDD di korteks visual (daerah lurik dan ekstrastriat) untuk gambar frekuensi spasial rendah, dan hiperaktivitas dalam sistem frontostriatal (korteks orbifrontal dan kaudat) untuk gambar normal (Feusner, Moody, et al., 2010). Namun, kelompok BDD tidak menunjukkan aktivitas amigdala atau insula yang lebih besar. Selain itu, individu dengan BDD kurang memanfaatkan elemen konfigurasi dan holistik sementara secara selektif mengingat dan mereproduksi detail visual (Deckersbach et al., 2000). Hal ini sejalan dengan pengamatan klinis bahwa penderita BDD sering berfokus pada detail penampilan, contohnya jerawat kecil atau bentuk asimetris dari wajah mereka, dengan mengorbankan aspek global atau konfigurasi. Jadi, dalam studi neuroimaging fungsional menunjukkan ketidakseimbangan antara pemrosesan detail dengan perhatian global yang ditandai dengan kelainan pada sistem kortikal visual, temporal, dan prefrontal primer atau sekunder.
Setiap masalah selalu memiliki jalan keluar, begitu juga dengan penderita BDD pasti bisa disembuhkan. Untuk tahap awal bisa menggunakan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Serangkaian kasus dan uji coba terkontrol membuktikan bahwa CBT ini merupakan langkah yang efektif. CBT ini dirancang untuk membantu individu mendapatkan insight terhadap permasalahan yang sedang dihadapi sehingga bisa mengubah pemikiran yang terdistorsi menjadi sebuah pemikiran rasional yang mana akan memunculkan perilaku adaptif (Spiegler & Guevremont, dalam Siregar & Siregar, 2013). CBT adalah terapi yang memfokuskan pada bagaimana mengubah pemikiran atau keyakinan yang negatif (Beck, 1995).
Mencegah lebih baik daripada mengobati, sebenarnya kita bisa mencegah munculnya gangguan BDD ini. Cara yang dapat ditempuh yaitu dengan menerapkan rasa percaya diri, love yourself, serta memiliki self esteem yang tinggi. Hal-hal tersebut bisa menjadi langkah awal yang bisa kita tempuh untuk mencegah BDD. Namun, yang perlu ditekankan disini apabila mengalami gejala-gejala seperti yang sudah disebutkan diatas jangan langsung self diagnose bahwa kalian menderita BDD. Apabila sudah dirasa parah yaitu ketika seseorang rela melakukan hal-hal ekstrem untuk memperbaiki penampilan maka hendaknya segera berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Jadi, satu yang harus diingat yaitu tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang pasti memiliki kekurangan. Because there is no such things as ideal beauty. Mulai biasakan untuk selalu menghargai diri sendiri dan berhenti membandingkan diri anda dengan orang lain.
Penulis : Emitha Dwi Shilla Astuti
Mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya