Sepanjang tahun 2020, dunia digegerkan dengan isu pandemi Covid-19 yang memakan jutaan korban baik yang terjangkit maupun meninggal. Termasuk pula di Indonesia, gegap gempita seputar Covid-19 menjadi buah bibir yang sangat hits di tengah masyarakat terutama di media sosialnya. Seiring dengan menyebarnya virus secara simultan di seluruh penjuru kota, publikasinya bisa dikatakan menyebar 1000 kali lipat lebih cepat. Tak pelak, banyak sekali kebisingan opini hingga hoax yang berseliweran setiap detik di genggaman masyarakat. Ponsel—yang menjadi kebutuhan pokok di era digital—menjadi sarana digital yang paling efektif mengakses berita terkini seputar Covid-19 tiap detiknya.
Sayangnya, kemajuan teknologi tak diimbangi dengan cerdas bermedia maupun melek literasi. Banyak survey menunjukkan sebesar 65% masyarakat Indonesia masih minim literasi dalam menyaring mana berita yang valid dan kredibel atau media pembuat hoax dan sensasi demi meraup rupiah. Akibat kekurangpahaman masyarakat ihwal komunikasi tersebut, muncullah gagap informasi hingga kebingungan dalam memilih atau menyerap mana sebenarnya berita yang benar dan mana yang sekadar sensasi atau berita bohong atau fitnah?
Pentingnya melek komunikasi publik di era digital ini sangat diperlukan terutama oleh setiap institusi atau organisasi publik dalam mempublikasikan surat edaran, himbauan, menyiarkan berita maupun informasi lainnya secara jelas, tepat dan cepat diakses masyarakat.
Seperti contohnya, rencana pemerintah untuk membuka kembali sekolah tatap muka pada Januari 2021 mendatang meninggalkan pro-kontra di tengah masyarakat. Wacana ini telah diteken oleh SKB tiga kementerian, Kemendagri, Kemenkes dan Kemenag. Keputusan pembukaan sekolah ini akan diberikan kepada tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, kantor wilayah, dan orang tua murid melalui komite sekolah. Di satu sisi, ada yang setuju dengan syarat perketat protokol kesehatan. Namun di sisi lain, banyak yang menilainya sebagai kebijakan prematur dan beresiko meningkatnya penyebaran Covid-19 secara siginifkan. Atas beredarnya kabar seperti ini membuat masyarakat seolah dibiarkan bingung hendak ke mana mereka menentukan sikapnya?
Demikian halnya kabar seputar libur panjang akhir tahun yang masih simpang siur, ada yang menolak dan ada pula yang mendukung. Mereka yang menolak mengaitkan dengan pengalaman libur panjang Idul Adha yang justru menjadi titik balik meningkatnya secara pesat kasus positif Covid-19 yang sebelumnya sempat menurun. Sedangkan yang menuntut libur akhir tahun menyaratkan asal protokol kesehatan dipenuhi liburan tak jadi persoalan. Liburan juga sangat diperlukan untuk memutus kejenuhan di tengah kondisi tidak normal yang hampir sepuluh bulan dirasakan masyarakat akibat pandemi Covid-19. Lantas komunikasi publik seperti apa yang harus dihadirkan di tengah masyarakat baik oleh stakeholder maupun media mainstream yang berkewajiban menghadirkan berita yang aktual dan faktual? Ironis memang, ketika media cetak yang kredibel mulai gulung tikar, justru kekosongan itu direbut media online abal-abal yang kian hari kian menjamur menebar hoax, fitnah dan ujaran propaganda demi merauk rupiah.
Tantangan Era Digital
Komunikasi publik yang dijalankan di Indonesia kebanyakan bentuknya komunikasi satu arah dan bentuknya kurang menarik dan interaktif. Hal demikian menyebabkan kerentanan adanya noise (gangguan). Padahal di era digital, terbuka lebar bagi pemegang ototritas membuat terobosan komunikasi multi arah melalui berbagai paltform digital berbasis media sosial yang populer seperti YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp dan lainnya. Maka dari itu, langkah membangun kreativitas dalam menciptakan komunikasi publik digital patut dijalankan, untuk memperbaiki pola komunikasi yang efektif serta dinamis baik antar pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam pelbagai bidang kehidupan. Termasuk dalam upaya bersama menghadapi pandemi Covid-19.
Mengacu pada penelitian Rakhmat (1996) ihwal jenis-jenis gangguan dalam komunikasi publik juga masih dirasakan di masa digital sekarang mesikpun definisinya perlu dikembangkan. Pertama,gangguan mekanik, yakni gangguan yang disebabkan oleh adanya suara atau kebisingan lain di sekitar pengirim pesan; kedua, gangguan personal, terjadi lantaran gangguan yang terjadi baik pada komunikator maupun komunikan; ketiga,gangguan semantik, yakni gangguan yang disebabkan oleh adanya perbedaan makna yang dipahami oleh komunikator sebagai sumber informasi dan komunikan sebagai penerima informasi. Keempat,gangguan adanya perbedaan budaya, yakni perbedaan budaya antara komunikator dengan komunikan dapat membuat pesan yang disampaikan tidak seimbang dan menjadi kurang efektif; dan kelima, gangguan ketiadaan timbal balik (feedback) dari komunikan kepada komunikator menyebabkan kejumudan dan terhambatnya komunikasi secara efektif.
Empat Strategi Komunikasi
Jauh-jauh hari, McLuhan (1960) menjabarkan teori globalvillageyakni dengan kecanggihan teknologi internet, sistem komunikasi personal akan dengan cepat menjadi ke komunikasi massa. Lebih-lebih seorang tokoh publik atau yang memiliki massa banyak, ketika ia berpendapat secara personal maka media sosial dengan sangat cepat menyebarkannya dan siapapun dapat mengaksesnya. Ketika masyarakat sudah begitu dekat dengan teknologi media, maka sejatinya pemangku kebijakan sebetulnya punya wewenang besar untuk menjalankan strategi komunikasi publik yang ideal.
Pertama,komunikasi publik di masa pandemi Covid-19 harus dijalankan di atas asas membangun solidaritas antar masyarakat. Di mana, Negara hadir sebagai pengayom dan penjamin harkat kehidupan seluruh rakyatnya, dari situ Negara bisa menyentuh sisi manusiawi untuk mengetuk solidaritas bangsa dalam menghadapi Covid-19. Kedua,komunikasi publik dijalankan atas dasar transparansi untuk membangun kepercayaan publik. Di situasi pandemi yang genting, menyuguhkan informasi yang transparan wajib dilakukan karena pada akhirnya berkaitan erat dengan adanya kepercayaan publik. Dan ketika keperacayaan publik terhadap penyelenggara Negara terbangun kuat, maka komunikasi publik bisa sangat efektif diserap dan dijalankan.
Ketiga, tanggap dalam melakukan official counter. Di era digital yang identik dengan pertarungan informasi di jagat maya, Negara wajib mendirikan semacam badan informasi khusus yang berfungsi untuk memfilter informasi yang beredar di masyarakat, serta mmebuat klarifikasi atas beredarnya berita fitnah, hoax dan semacamnya yang meresahkan masyarakat. Keempat,komunikasi publik dijalankan melalui berbagai paltform yang memiliki aksesibilitas tinggi di tengah massyarakat. Saat ini yang paling efektif lewat media sosial, pesan pribadi, maupun televisi.
Arah perbaikan komunikasi publik kita masih banyak tantangan. Satu hal penting yakni perlu ada kolaborasi berbagai pihak baik pemerintah, swasta maupun tokoh publik, serta masyarakat untuk fokus pada tujuan bersama menekan Covid-19. Dari situ bisa kita lihat bagaimana komunikasi publik bisa berjalan efektif dalam mengajak masyarakat selalu mematuhi protokol kesehatan agar pandemi Covid-19 bisa diatasi bersama. Pada akhirnya muara akhir dari komunikasi publik adalah adanya perubahan perilaku akibat pesan atau himbauan yang disampaikan, yakni pesan tentang bahasa Covid-19. Kita bisa lihat indikator keberhasilan komunikasi publik terbukti efektif manakala masyarakat patuh menjalankan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebab urgensinya membangun komunikasi publik ideal.
Penulis : Imro’atuz Sholihah
(Mahasiswi universitas Muhammadiyah Sidoarjo prodi ilmu komunikasi)