Sense of crisis atau kepekaan terhadap isu sosial utamanya pandemi saat ini. Memicu berbagai hal harus melakukan adaptasi. Tak terkecuali pelaksanaan kampanye pilkada. Ini juga menjadi perhatian Rachmat Kriyantono PhD. Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.
—————————————-
Terkait hal ini maka Kampanye Digital (KD) menjadi solusi alternatif. Karena dinilai efektif dan efisien. Maka semestinya dilakukan kampanye positif dan tidak melakukan kampanye negatif.
“KD Positif Yes dan KD Negatif No. Kampanye positif monggo. Kampanye negatif lebih baik jangan dilakukan,” tegas Rachmat Kriyantono. Ini sempat dijadikan tema pembahasan diskusi Bawaslu Kabupaten Malang. Temanya: Kampanye Hoaks dan Ujaran Kebencian di Media.
“Dalam suasana pandemi begini. Selayaknya bersikap bijak dan mengedepankan keselamatan dan kesehatan massa. Sebaiknya memang mengintensifkan kampanye digital. Kampanye positif dan tidak melakukan kampanye negatif,” tutur Rachmat Kriyantono.
Ia menyitir sebuah hasil riset dan penelitian yang menghasilkan kesimpulan yaitu, potensi hoaks Pilkada Kabupaten Malang masih besar.
Rachmat mengatakan, munculnya hasil penelitian itu karena beberapa faktor. Yaitu angka kemiskinan Kabupaten Malang masih di atas angka kemiskinan nasional.
Selain itu juga tingkat pendidikan masih rendah. Sehingga literasi informasi juga berpotensi rendah.
“Akibatnya orang tersebut sulit membedakan antara hoaks atau bukan,” tutur alumnus Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga ini.
Rachmat mengungkapkan selayaknya menghindari kampanye hitam, karena mengandung fitnah dan Hoaks.
“Setiap hoaks biasanya mengandung fitnah. Adu domba, ujaran kebencian dan mengolok-olok,” tutur pria yang juga ketua magister Komunikasi FISIP UB ini.
Rachmat menjelaskan, kampanye positif perlu digalakkan. Jika melakukan kampanye negatif, maka perlu kampanye negatif solutif. Agar tercipta edukasi politik masyarakat.
“Kampanye positif perlu digalakkan. Jika kampanye negatif, perlu kampanye negatif solutif, agar tercipta edukasi politik masyarakat,” urai Rachmat.
Rachmat mengungkapkan, dalam Pilkada potensi hoaks tinggi, karena pilkada adalah event politik dimana rawan terjadi politisasi atas berbagai hal.
Potensi hoaks tinggi karena pilkada adalah event politik. Rentan untuk melakukan politisasi agama, politik identitas. Sementara literasi masyarakat dan pekerja media masih rendah.
Dibarengi adanya akses internet yang bebas, isu RUU ciptaker, juga bisa dibawa ke ranah pilkada. Rentan pula memunculkan kebencian di sebagian masyarakat. (jan)