Malang – Beberapa hari lalu, terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh teman bermainnya sendiri. Peristiwa di Kalipare Kabupaten Malang ini, motifnya pelaku sakit hati karena diejek korban. Pelaku dikatai miskin dan tidak akan mampu beli hp seperti milik korban.
Ini menjadi perhatian Anna Juwita Puspita Sari M.Psi, Psikolog Universitas Brawijaya, Koordinator Bidang Humas dan Kemitraan Asosiasi Psikologi Islam. Menurutnya, seseorang bisa tega melakukan pembunuhan pada temannya sendiri karena bergesernya nilai-nilai/value. Minimnya rasa empati pada orang lain. Banyak sekali tata krama dan sopan santun yang terkikis di jaman ini sehingga perilaku kekerasan anak mudah sekali terjadi.
“Perbanyak teladan yang baik. Disamping nasehat dan ajaran verbal, terapkan disiplin pada usia yang tepat dengan penuh kasih sayang,” ujar Anna.
Sementara itu Psikolog Lapas Perempuan Kelas II A Malang, Rr Ayu Sri Widyarini M.Psi, menyatakan: Perilaku kriminal pada anak, hingga terjadi pembunuhan bisa dikarenakan kurangnya kematangan emosi setiap individu. Korban yang masih usia 13 tahun, adalah masa pubertas. Pada umur segitu, seorang anak biasanya memiliki salah satu karakteristik ingin menang sendiri. Sesuai kesenangannya. Ini terkadang menyebabkan perselisihan dengan teman-temannya.
Sedangkan di usia 20 tahun, pelaku sudah menginjak dewasa awal. Dimana awal masa pencarian, penemuan dan pemantapan hidup. Banyak sekali terjadi masalah dan ketegangan emosi yang dialami di usia dewasa awal. Situasi emosi dimasa rentan perkembangan anak tersebut, menjadi penyulut seseorang tidak bisa berfikir realistis.
Saat dirinya merasa tidak diterima atau tidak dihargai secara sosial di lingkungan sekitarnya. Pelaku merasa lebih tua dan secara ekonomi harusnya lebih mampu. Tetapi dengan olokan korban muncul ketegangan emosional yang dirasakan terus menerus. Hingga akhirnya emosi itu terlampiaskan dengan perilaku membunuh.
“Seharusnya sebagai orangtua, lebih memahami tiap tahap perkembangan anaknya. Orangtua wajib menjadi pendengar saat anak berkeluh kesah. Menjadi guru saat anak membutuhkan arahan, juga menjadi teman sebaya saat anak merasa kesepian atau kurang diterima di lingkungan teman sebayanya. Tidak menilai buruk setiap perilaku anak, meskipun nyatanya sudah melakukan kesalahan. Tetapi memahami penyebab anak melakukan kesalahan,” jelas Rr Ayu Sri Widyarini.
Penting bagi masyarakat sekitar memperkuat dukungan emosi dari orangtua tadi. Untuk tetap menilai positif dan tidak memberikan penilaian negatif. Karena pandangan sesaat dengan harapan anak merasa diterima. Selalu berharga dimata semua lapisan masyarakat. Terlepas dari status dan pendidikannya sebagai anggota dalam masyarakat.
Situasi saat ini memang bisa dikatakan sedikitnya penyumbang terjadinya perilaku kriminal terutama pada anak dan remaja. Karena dengan proses belajar yang seharusnya dilakukan di kelas, saat ini harus melalui virtual dan mengharuskan setiap anak memiliki gadget. Kondisi ini juga menjadikan tiap anak menunjukkan kehebatan gadget yang dibelikan ortunya.
Tidak semua anak merasakan kesenangan terhadap gadget yang dimilikinya. Disisi lain, orang tua yang fokus bekerja juga kurang peka terhadap kondisi anaknya. Menganggap seperti dengan sekolah biasa. Karena merasa kontrol guru bisa melalui pembelajaran virtual. Akan tetapi pada kenyataannya tidak seperti itu. Agresi pada anak juga bisa disebabkan karena waktu luang anak semakin banyak, dan dipergunakan untuk game online. “Beberapa kita ketahui, game yang dimainkan anak hingga dewasa awal lebih banyak bersifat yang memunculkan kekerasan serta pembunuhan. Permainan ini jika dimainkan terus menerus tanpa ada kontrol dan pemahaman dari orang tua juga akan mengakibatkan anak memiliki perasaan benci hingga harus memusnahkan orang lain,” pungkas Ayu. (roz/jan)