Jakarta – Imunisasi sangat penting, untuk membentuk daya tahan tubuh, dalam melawan penyakit tertentu. Merupakan bagian dari upaya mencegah lebih baik daripada mengobati. Imunisasi merupakan interfensi kesehatan masyarakat, yang spesifik dan efektif dari segi biaya.
Salah satu upaya imunisasi yang massif, yang pernah dilakukan pemerintah adalah program Pekan Imunisasi Nasional (PIN), dimulai pada tahun 1995, untuk mengeradikasi virus polio.
‘’Pemberian vaksin oral polio pada 1995-1997 diberikan pada siapa saja. Tanpa memandang seseorang itu sudah diberikan vaksin polio secara rutin atau belum. Yang sudah dapat imunisasi polio rutin, akan memperkebal daya tahan tubuhnya. Yang belum dapat, bisa dikatakan mendapatkan imunisasi dasar,’’ terang dr. I Nyoman Kandun MPH, Penasihat Field Epidemiology Training Program (FETP), dalam acara Dialog Produktif bertema Belajar dari Sukses PIN Polio, yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).
Masyarakat juga perlu mengetahui, tahap-tahap penanganan penyakit menular. Yaitu mengontrol, mengeliminasi dan mengeradikasi. Mengontrol adalah menekan insiden penyakit menular. Mengeliminasi, menekan hingga angka yang sangat rendah. Bisa sampai nol, tapi virusnya tidak hilang.
‘’Mengeradikasi artinya, di samping kita bisa menekan penularan sampai nol, virusnya juga bisa hilang. Seperti misalnya cacar, yang tidak ditemukan lagi adanya virus cacar, sehingga kita bisa dikatakan mengeradikasi cacar,’’ terang dr Nyoman.
Sedang dr Jane Soepardi, konsultan Imunisasi dan pengawasan untuk lembaga pencegahan dan pengendalian penyakit CDC Atlanta kantor Indonesia, menyatakan imunisasi melalui vaksin, terbukti sebagai pendekatan kesehatan masyarakat yang paling efektif. Dengan kata lain, telah terbukti juga bahwa tanpa vaksin dan program imunisasi manusia tidak bisa menang perang melawan virus.
Cakupan imunisasi rutin polio yang dimulai dari 1995, sempat menurun akibat terdampak krisis multi dimensi, pada periode 1998-2002. Pada 2002 baru pemerintah melakukan PIN kembali. Pada 2005, virus polio liar (wild polio virus) teridentifikasi di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat.
‘’Penanganan virus polio di Cidahu, sebenarnya telah dilakukan dalam tindakan cepat yang dikenal sebagai sub PIN. Supaya virus polio liar yang masuk Cidahu tidak menyebar. Tapi virus tersebut menyebar ke Sumatra dan wilayah lainnya,’’ jelas dr. Nyoman.
Pemerintah kemudian menetapkannya sebagai KLB dan kembali menjalankan PIN. Hasilnya, polio kembali sukses diberantas pada 2006. Kemudian pada 2014, label bebas polio diberikan WHO kepada Indonesia.
‘’Sampai saat ini, tidak ditemukan lagi penderita polio yang disebabkan virus polio liar. Jadi apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir penyebaran virus? Cakupan imunisasi harus setinggi-tingginya, bila perlu 100 persen,’’ terang dr Nyoman.
Kunci sukses untuk membebaskan Indonesia dari polio menurut dr. Jane adalah dukungan dari jajaran pemerintah, yang memiliki keinginan kuat untuk menghapus virus ini dari Indonesia. Selain itu dukungan sumber daya tenaga kesehatan dan logistik yang cukup juga membantu Indonesia terbebas polio. (STPC19 /rdt)