Pendopo Kembangkopi Wagir belum lama ini, menjadi ajang menggali aspirasi dan masukan terkait gagasan perda desa wisata. Berbagai gagasan disampaikan dalam hearing dengan Anggota Komisi B, Daniel Rohi wakil rakyat di Jatim Dapil Malang Raya. Ia berjanji menjadi saluran suara dari pelaku desa wisata di Malang Raya yang hadir pada pertemuan tersebut. Hadir pula tokoh Pokdarwis Kabupaten Malang, Mukhlis. Aktivis Ekowisata HPI Sidoarjo, Rachmanu.
Pietra Widiadi, founder Dial Foundation Pendopo Kembangkopi, yang aktif sebagai Green Policy and Governance Leader – WWF Indonesia, menyampaikan kepada Harian DI’s Way Malang Post.
———————————–
Dalam Perda 6/2017 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Timur disebutkan: Arah kebijakan pengembangan tanggung jawab terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d.
Diarahkan kepada pengembangan manajemen usaha pariwisata. Mengacu kepada prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan, kode etik pariwisata dan ekonomi hijau.
Arahan ini jelas mendorong pengembangan kawasan wisata. Mempraktekkan bentuk-bentuk perilaku yang mendorong adanya pelestarian dan pemeliharaan. Saat ini DPRD Jatim, melalui Komisi B bidang Ekonomi, menggagas Perda Desa Wisata. Meski ranperda ini dinamakan Pemberdayaan Usaha Desa Wisata.
“Mengapa Desa Wisata, ini jelas bahwa desa dengan segala kehidupan yang ada, patut dan menjadi sebuah aset untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata. Tentu wisata yang disajikan adalah pola kehidupan sehari-hari warga masyarakatnya,” terang Pietra Widiadi.
Tidak ada sedikitpun yang harus diubah untuk menjadi sebuah atraksi wisata. Kecuali memberikan hubungan yang saling berbagi.
Antara tamu yang ingin menikmati kehidupan yang dimiliki oleh tuan rumah. Kalau petani, atau nelayan atau peternak atau perkebunan, maka apa yang telah dilakukan musti terus dilakukan.
“Dengan kehadiran tamu, mereka berbagi tentang kehidupannya. Tuan rumah akan mendapatkan sedikit tambahan pendapatan dengan menerima tamu tersebut,” terang pria alumnus Universitas Airlangga ini.
Pengertian umum dalam dunia pariwisata, cara wisata internasional seperti itu, disebut dengan community base tourism atau wisata berbasis kehidupan masyarakat.
Sejauh ini, ada anggapan bahwa desa wisata perlu dipoles dengan berbagai hiasan buatan untuk mempercantik diri.
Padahal yang dilakukan, tinggal sedikit meningkatkan kebersihan. Menjaga halaman jadi bersih dan berbunga. Kamar mandi yang kumuh jadi terang dan dinikmati jernihnya air. Kamar tidur yang lembab jadi terang dan memiliki pengudaraan yang lapang.
Dengan upaya ini, ranperda yang ditawarkan menjadi pintu masuk untuk pembangunan yang hakiki.
Jadi bukan lagi soal pemberdayaan usaha, tetapi adalah pembangunan Desa Wisata.
Terkait dengan pemberdayaan adalah keniscayaan.Tetapi yang menjadi tantangan adalah menghadirkan praktek-praktek ekonomi hijau. Dimana yang dilewati adalah melakukan upaya pariwisata yang bertanggungjawab.
“Artinya, desa perlu menyediakan pengolahan sampah. Dikembangkan menjadi ekonomi sirkule. Mendorong usaha dari sampah, pengolahan limbah rumah tangga yang tidak mencemari,” ujar Pietra.
Mengelola sanitasi lingkungan untuk menjadi kesehatan warga. Tentu saja menjadikan desa sebagai pusat pertanian memproduksi pangan yang sehat. Melalui semangat praktek-praktek pertanian yang baik (good agriculture practices).
Pada dasarnya ranperda ini disambut dengan suka cita. Dengan catatan untuk perbaikan dan diusulkan menjadi Perda Desa Wisata. Bukan ranperda Pemberdayaan Usaha Desa Wisata.
Karena kalau tidak jelas, maka akan berkelidan (tumpang tindih) dengan upaya penguatan kapasitas desa.
“Dengan demikian, diharapkan nantinya ada sinegitas dan keterpaduan antar OPD dalam pelaksanaan perda yang digagas ini,” tutup Pietra. (jan)