
Orde Lama ditandai dengan masa kepemimpinan Bung Karno, sementara
Orde Baru diketahui dibawah kepemimpinan Soeharto, dan Orde Reformasi
ditandai dengan Tuntutan Reformasi oleh Mahasiswa di tahun 1998, yang berarti jika
masalah reformasi telah dituntaskan oleh pemerintah dan masyarakat, maka Orde
Reformasi dinyatakan telah sukses dilaksanakan, tetapi kenyataannya berbeda, agenda
reformasi ternyata belumlah tuntas.
Fakta sejak masa Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri,
sampai Soesilo Bambang Yudhoyono, masih belum menuntaskan tuntutan reformasi
atau agenda reformasi di semua aspek kehidupan Negara terlebih penguatan rupiah
yang ada kaitannya dengan penegakkan hukum. Dan justru sebaliknya banyak
melahirkan raja-raja kecil disetiap pemerintahan, baik dari Desa sampai Pusat.
Hal ini menjelaskan bahwa reformasi perlu di evaluasi, dan faktanya reformasi dengan cara
revolutif ternyata cukup ampuh. Dan ini telah dibangun oleh Presiden yang ke 7 ini.
Pada tahun 2014, kepemimpinan nasional dipegang oleh Joko Widodo, seorang
mantan Walikota Solo, yang sungguh berprestasi dalam sejarah perkembangan bangsa
yakni menjadi Gubernur DKI Jakarta dalam waktu singkat langsung bisa menjadi
Presiden RI dengan politik pencitraan “blusukan”.
Makna pencitraan ini perlu dimaknai baik secara harfiah, bukan kontekstual yang bermakna kurang baik (negative image). Bahkan menawarkan sebuah paket program, yakni Program Revolusi Mental dan Nawa Cita. Seolah juga ingin menawarkan makna rezim yang baru, atau makna Orde yang baru, yakni dari Reformasi, dipercepat menjadi Orde Revolusi, baik
bermakna Percepatan Pembangunan Infrastruktur, maupun dalam makna Percepatan
Pembangunan Jiwa Bangsa yang Sehat, atau Percepatan Pembangunan Indonesia
Sehat.
Sehingga penulis pun ingin bertanya, reformasi yang belum selesai itu, bahkan
hampir gagal itu, kenapa justru dijawab dipercepat pembangunannya oleh Seorang
Joko Widodo, baik mental maupun fasilitas bernegara ?, atau penulis ingin bertanya
dalam bahasa pertanyaan yang lain, Orde Pembangunan Reformasi ataukah Orde
Pembangunan Revolusi ?. Pertanyaan penulis ini adalah berasal dari keyakinan penulis bahwa benar telah hadirnya perubahan sosial dari makna reformasi menjadi revolusi yakni munculnya generasi teknologi secara massif di hampir seluruh nusantara.
Meski faktanya juga berasal dari dukungan internasional. Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Sosial Sejahtera, aplikasi-aplikasi di android yang telah bisa dikelola oleh banyak mahasiswa IT, dan banyak lagi adalah bukti nyata adanya perubahan sosial generasi, dari generasi reformasi menjadi generasi revolusi industry teknologi.
Pencanangan nasionalisasi digitalisasi, terintegrasinya teknologi nasional dan
internasional, serta berbagai strategi percepatan pembangunan nasional yang terintegrasi pula, baik politik dengan pemilihan serentak dan virtual, penanganan secara
supervisi atas masalah sosial, atau biasa dikenal dengan blusukan, ternyata
efektif bagi percepatan menjadi Presiden yang revolutif juga bagi sejarah politik di
Indonesia.
Pembangunan Tol Terintegrasi dari Aceh sampai Papua yang dicanangkan oleh
Joko Widodo merupakan sebuah strategi pembangunan nasional yang sangat
diharapkan dapat berlanjut di masa depan bangsa, sekejap saja perubahan ini terjadi
begitu cepat yakni sejak 2014 sampai 2020 telah hampir sukses pembangunan
infrastruktur Tol dan Tol Laut di Aceh sampai Papua, sehingga membuat mata publik
menjadi dimanjakan dari berbagai chanel Youtubenya.
Pembangunan telah terjadi begitu cepat dihampir semua Desa, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, dan Propinsi diseluruh Indonesia, dengan keadaan ini penulis ingin
melukiskan dengan kata-kata seperti ini, bahwa Jokowi hadir seperti Hujan Hadir.
Harapan Rakyat dan Petani Atas Turunnya Hujan Yang Tak Pernah Kunjung Turun,
Kini Hujan Itu Datang Disaat Kita Semua Tak Yakin Hujan Itu Turun di Bulan Kemarau.
Adalah sebuah keironisan yang baik.
Harapan rakyat begitu lama atas berbagai pembangunan di daerahnya, harapan
itu kini telah menjadi nyata, diantaranya adalah Pembangunan Tol, Jembatan,
Dermaga, Bandar Udara, Pabrik-Pabrik Strategis Manufaktur, dan berbagai
pembangunan lainnya. Pemimpin Pembangun Infrastruktur itu kini telah hadir kembali pasca Soekarno dengan Revolusinya, dan Soeharto dengan Pembangunan dan Stabilitas
Hamkamnasnya, bersama rakyat generasi teknologi yang mencintai rakyatnya
membangun bangsa.
Revolusi Mental ala Joko Widodo mungkin saja bisa menjadi rezim yang baik
dan Orde yang baik pula. Namun mungkin saja ini adalah estafet dari program revolusi
Seokarno yang selalu mengatakan “Revolusi Belum Selesai”. Joko Widodo bersama
Partai yang mengidolakan Soekarno seolah hanya ingin menjelaskan bahwa Revolusi
Belumlah Usai. Ada banyak hal yang perlu dilakukannya perubahan yang terus menerus
dilaksanakan diberbagai sudut nusantara, yakni percepatan pembangunan disegala
bidang yang menyesuaikan perkembangan modernitas di Negara maju, juga
Pembangunan Mental Pencasila. Hal ini penting terus diingatkan, sebab sehari karena
teknologi, bisa membuat Negara hancur bangkrut karena bermental boros APBN/APBD.
Menjadi Manusia Pancasila sungguh tidak sehari jadi, sebulan jadi, atau setahun
jadi, namun memerlukan keserasian dari berbagai harapan atau kebutuhan dan
kenyataan. Jika antara harapan atau kebutuhan dan kenyataan itu berbeda, maka tentu
itu adalah masalah. Jika antara harapan Birokrasi Sehat Clean Government dan Good
Governance berbeda dengan kenyataan yang banyak melanggar aturan, maka itu
adalah masalah endemik yang mempandemi. Revolusi hadir untuk menyatakan
kecerdasan diperlukan untuk segera merubah menjadi lebih baik.
Lagi-lagi, solusinya adalah pasti Pancasila sebagai materi Revolusi yang efektif
dan efisien.
Dengan ungkapan lainnya bahwa harapan atau kebutuhan individu atau seluruh rakyat nusantara, sejatinya adalah Pancasila, yakni membutuhkan adanya Tuhan Yang Maha Esa, membutuhkan adanya Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab, membutuhkan adanya Persatuan Indonesia, membutuhkan adanya Pemimpin yang Bijaksana dan Suka Bermusyawarah Mufakat, dan membutuhkan adanya Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Penulis : Ibnu Nasar Fauqa Aroeboesman, M. Si, Cendekiawan NTT