Udang merupakan hewan air yang memiliki bentuk tubuh berbeda dari ikan biasanya. Hidup
di perairan, khususnya sungai , laut , atau danau . Udang bisa ditemukan hampir semua
kubangan air yang berukuran besar baik air tawar , air payau , sungai, rawa maupun air laut
berasa asin dengan kedalaman bervariasi. Mampu hdup dipermukaaan pada genangan air
dengan kedalaman rendah hingga genangan air dengan kedalam tinggi.
Udang merupakan primadona komoditas perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai
tinggi dalam pedagangan nasional maupun internasional (eskspor – impor). Adanya
perubahan gaya konsumsi manusia dari dagng ke ikan menjadi pemicu naiknya pamor hewan laut ini. Hal ini terjadi karena ikan memilki kekhasan pada daging dan rasa juga kekayaan protein yang dikandungnya. Bahkan Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Perikanan Budidaya mengatakan bahwa budidaya udang merupakan salah satu ekonomi yang sangat produktif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan masih menjadi primadona dengan permintaan global (ekspor) yang sangat tinggi hingga saat ini ditengah pandemi Covid-19 ( Repulika.id, 25 -10-2020).
Down to Earth pada tahun 2003 menyampaikan sebuah ulasan menarik tentang penelitian
yang telah dilakukan oleh organisasi pangan dan pertanian PBB, FAO, terdapat temuan data
bahwa ekspor budidaya akuatik Indonesia pada tahun 2000 telah mencapai lebih dari 2
milliar dolar. Jumlah tersebut diklaim sebagai pendapatan yang sangat tinggi bagi negara
yang sedang terjerat hutang. Yang kurang dari penilitian itu adalah tidak memasukkan biaya sosial dan lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat dimana komunitas pesisir adalah salah satu kelompok paling miskin di Indonesia. Bank Pembangunan Asia (Asian
Development Bank, ADB) mengakui bahwa 80% dari kelompok pesisir tersebut hidup
dibawah garis kemiskinan.
Semakin tingginya permintaan nasional dan global terhadap udang, maka semakin tinggi
ekspansi pembukaan lahan budidaya udang ( tambak udang ) yang cenderung agresif. Saking agrsifnya, kurang memperhatikan terhadap lingkungan dan dampak yang ditimbulkan pada manusia dan alam sekitar. Disinilah letak kekuatan pemilik modal memilki peran besar dalam pembukaan lahan tambak sebesar-besarnya dan ekspoitasi terhadap semua sumber daya baik manusia dan alam. Ratusan juta hingga millyaran uang dikeluarkan untuk membuka bisnis pertambakan udang.
Masih menurut laporan Down to Earth, bahwa perkembangan budidaya udang di Indonesia
bermula pada tahun 1983 dan 1984 berkat bantuan ADB dan Bank Dunia pada tahun 1983. Sejak dekade 1980-an wilayah penambakan udang intensif atau semi-intensif di Indonesia
semakin berkembang. sejak tahun 1980-an. Sampai tahun 1998, wilayah pertambakan
mencakup sekitar 305.000 hektar. Di sisi lain, pemerintah mengatakan bahwa sekitar 860.000
hektar hutan bakau (sekitar sepertiga dari wilayah hutan bakau yang ada) masih tersedia
untuk dirubah menjadi tambak udang.
Sama halnya dengan budidaya hewan air lainnya, ternyata udang juga tidak kebal terhadap
penyakit. Data yang digali dari tambakudang.com menyebutkan bahwa terdapat beberapa
penyakit yang menyebabkan udang tidak tumbuh berkembang optimal bahkan bisa berakibat kematian masif. Diantaranya, White Feces Disease (WFD) yang pertama kali ditemukan pada tahun 2014. Dugaan penyebab penyakit ini adalah dominiasi bakteri vibrio dalam organ pencernaan (lambung, hepatopankreas dan usus). Serangan WFD menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi petambak karena menyebabkan kematian populasi hingga 90%. Minimnya pengetahuan petambak akan penyakit ini disertai buruknya manajemen kesehatan tambak, menjadi salah satu faktor tingginya kejadian wabah WFD di tahun 2016.
Penyakit yang manjangkit udang tambak lainnya adalah Hepatopancreatic Microsporidiasi
(HPM) akibat infeksi parasit microsprodia, Enterocytozoon hepatopenaei (EHP).
Menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, walaupun tidak menyebabkan kematian yang
tinggi namun infeksi EHP membuat pertumbuhan udang menjadi terhambat. Pengobatan
terhadap infeksi EHP tidak simultan dilakukan, sebab belum ditemukan obat yang efektif
mengatasi serangan penyakit ini.
Para pelaku budidaya udang tambak biasanya menggunakan obat-obatan kimia berupa
antiobiotik agar udang peliharaan tahan terhadap penyakit. Obat antiobtik diberikan secara
terpisah atau dicampur dengan pakan udang dan diberikan setiap hari. Pemberian pakan
dicampur obat kimia antibiotik bertujuan agar udang tahan atau kebal terhadap penyakit serta memiliki pencernaan yang lebih efisien dan meliki nafsu makan yang meningkat. Sehingga udang yang diberikan makan dicampur dengan antibiotik besar- besar dan berbadan gemuk sebab memiliki pencernaan baik dan nafsu makan tinggi ( isw.co.id ).
Penggunaan antibiotik pada tambak udang melahirkan residu atau zat sisa yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung terhadap manusia yang ternyata banyak merugikan kehidupan makhluk hidup termasuk manusia serta merusak lingkungan. Udang dengan kandugan antibiotik berisiko terhadap manusia yang mengkonsumsinya. Konsumsi yang terus menerus akan menyebabkan seseorang resisten terhadap antibiotik, serta kematian bagi penderita anemia, leukimia dan kanker darah, Gray Baby Syndrom atau bayi berkulit keabuan, suhu tubuh rendah sulit bernapas hingga berujung pada kematian.
Sedangkan residu air limbah tambak udang yang dibuang langsung ke laut tanpa proses
pengolahan limbah berkontribusi negatif terhadap lingkungan atau ekologi laut termasuk
pantai dan pesisir. Mengganggu biota laut, kerusakan terumbu karang, nelayan kesulitan
mencari ikan karena air laut kotor dan berbau. Air sumur penduduk di sekitar tercemar,
begitu pun juga air laut. Air sumur dan air laut yang tercemar residu limbah air tambak udang
apabila bersentuhan dengan tubuh menyebabkan kulit gatal hingga alergi.
Penulis : Syafiuddin Syarif, pengamat lingkungan sekaligus guru honorer SMAN 1 Sumnep.