Jakarta – Kalangan perhotelan, menjadi pihak yang paling cepat terpukul, setelah pandemi Covid-19 melanda. Tapi untuk waktu recovery-nya, justru diprediksi paling lama. Bahkan di awal-awal coronavirus ini datang, angka okupansi hotel hanya menyisakan satu digit. Paling baik sebatas 10 persen dari occupancy rate.
Sona Maesana, salah satu pengusaha hotel di Yogyakarta mengatakan, tingkat penurunan okupansi bisa mencapai lebih dari 70 persen. Sedangkan di hari-hari sebelum Covid-19 menyerang, tingkat hunian hotel rata-rata mencapai 50 – 60 persen.
‘’Jelas kondisi ini dialami hampir semua hotel di Indonesia. Mungkin juga di seluruh dunia. Karena pandemi ini terjadi di seluruh dunia. Untuk bisa bertahan hidup saja, sudah sangat luar biasa,’’ katanya saat hadir dalam talk show: ‘Protokol Kesehatan di Hotel dan Tempat Wisata’, yang dilaksanakan dari Media Center Satgas Covid-19, Graha BNPB Jakarta, kemarin.
Penurunan reveneu itu sendiri, tambah Rucita Permatasari, pengusaha hotel dari Surabaya, sudah dirasakan sejak April lalu. Dimulai dengan banyaknya tamu yang cancel, karena terkena Covid-19. Hingga sama sekali tidak ada kunjungan. Sebagai dampak pembatasan sosial yang dilakukan di berbagai daerah.
‘’Di beberapa tempat kami, praktis tutup sampai empat bulan lebih. Karena sempat buka sebentar, kemudian tutup lagi. Sementara biaya operasional terus jalan dan tidak bisa ditunda lagi,’’ kata pengusaha yang memiliki beberapa hotel di berbagai kawasan.
Hal yang sama juga terjadi pada fasilitas hotel lainnya. Lantaran tidak ada wisatawan atau pengunjung, menjadikan fasilitas hotel yang biasanya menyumbang penghasilan, selain tamu menginap, menjadi mati suri.
‘’Tempat rekreasi kami, ada yang menyatu dengan hotel. Menjadi fasilitas hotel juga. Tapi karena adanya PSBB, membuat tidak bisa beroperasi lagi. Padahal sebelumnya, fasilitas itu mampu menyumbang cukup besar untuk penghasilan kami,’’ tambah Safitri Siswono,
pengusaha taman rekreasi, yang juga menjadi nara sumber.
Dalam kondisi tersebut, para pengusaha hotel harus melakukan banyak cara, untuk bisa survive di tengah ancaman Covid-19. Meski di beberapa bulan, mereka terpaksa harus menutup hotel maupun tempat rekreasinya.
Salah satunya dengan memanfaatkan media sosial secara kreatif. Untuk bisa meningkatkan kunjungan wisatawan. Selain melakukan efisiensi, yang tetap harus bisa menggarap pangsa pasar.
‘’Kita tidak boleh berhenti untuk berkreasi, meski dalam kondisi pandemi. Melalui channel digital yang kami miliki, kami terus menggarap pasar. Diantaranya dengan memaksimalkan potensi komunitas, yang sedang berkegiatan,’’ kata Safitri Siswono.
Juga dengan menggelar lomba-lomba, yang diikuti oleh para followers dan member hotel. Agar terus terjadi interaksi antara pihak hotel dan pelanggannya. Meski semuanya tetap dalam koridor menjaga diri dari penyebaran Covid-19.
Sementara untuk memberikan kepercayaan kepada pelanggan, penerapan protokol kesehatan untuk hotel dan tempat rekreasi, menjadi sebuah keharusan. Di sesuaikan dengan wilayah atau daerah, dimana hotel dan tempat rekreasi itu berada.
Misalnya, kata Rucita Permatasari, dengan melakukan swab test kepada seluruh staf, setiap dua minggu sekali. Kemudian mengumumkan hasilnya, agar setiap tahu mengetahui kalau hotel tersebut sudah aman dari Covid-19.
‘’Kami juga sampaikan, selalu mengikuti panduan protokol kesehatan. Termasuk terhadap tamu, juga diberlakukan aturan ketat. Misalnya, mereka tidak memakai masker dengan benar, langsung kami ingatkan. Bahkan kami tidak memberikan toleransi, bagi tamu yang tidak menerapkan protokol kesehatan,’’ katanya.
Pada intinya, tambah Sona Maesana, adalah membuat customer merasa aman dan nyaman, saat mereka berada di hotel. Karena hanya dengan begitu, di era adaptasi dengan kebiasaan baru ini, hotel-hotel bisa kembali pulih. Meski belum sepenuhnya. (rdt)