Sudah hampir enam bulan sekolah dan kampus diliburkan, diganti dengan pembelajaran daring. Sayangnya, pasien positif Covid-19 terus bertambah hingga menjadi 160.165 orang pada 26 Agustus kemarin, dengan kasus meninggal 6.994 jiwa secara keseluruhan di Indonesia. Terlebih ketika ada tenaga medis yang tertular virus, maka pejuang yang berada di garda depan penanganan Covid-19 kian berkurang. Puskesmas Kedungkandang di Malang akhirnya harus tutup karena salah satu perawat baru saja terkonfirmasi positif corona. Tertulis di sana bahwa puskesmas akan disterilkan dan ditutup pada Senin (24/8) – Rabu (26/8), pelayanan dialihkan ke Puskesmas Gribig. Berita tersebut dibenarkan oleh Jubir Satgas Covid-19 Kota Malang, dr. Husnul Muarif (suarajatim.id pada 25/8/20).
Di saat yang bersamaan, Presiden Jokowi mengucap ‘alhamdulillah’ karena korban Covid-19 di Aceh masih mencapai 1.241 orang. Beliau mengatakan demikian karena angka tersebut masih tergolong kecil. Jika dibandingkan dengan kasus global yang mencapai 23,8 juta kasus dari 215 negara di dunia, 1.241 memang sangat kecil. Bahkan angka kematiannya jauh lebih tinggi yaitu 816.000 jiwa (suara.com pada 25/8/20). Memang dalam sistem demokrasi, nyawa satu rakyat tidak sebanding dengan nyawa pejabat, bahkan bukan apa-apa. Maka wajar, pejabat selalu mendapat prioritas pelayanan, sedangkan rakyat terombang-ambing dalam kegelisahan mencari nafkah di tengah sebaran virus yang mematikan, tanpa jaminan kebutuhan maupun kesehatan.
Berbagai kebijakan untuk memulihkan ekonomi yang terpukul akibat PSBB dikeluarkan, meskipun dinilai berbahaya bagi nyawa masyarakat. Salah satunya adalah rencana pembukaan karaoke oleh DPRD Kota Malang dengan memberikan dukungan kepada pengusaha karaoke agar dapat membuka bisnis kembali di tengah pandemi. Padahal Wali Kota Malang, Sutiaji, tidak memberikan izin karena tidak ada jaminan protokol kesehatan. Ketua DPRD Kota Malang, I made Rian Diana Kartika, menyatakan pembukaan aktivitas pelaku usaha sektor hiburan, karaoke, kafe, dan restoran penting untuk membantu perekonomian masyarakat. Beliau mengaku memahami alasan wali kota tetapi demi pemulihan ekonomi akan digelar pertemuan dengan Forpimda, mulai dari TNI, Polri, dan wali kota untuk menindaklanjuti hal ini (suarajatim.id pada 26/8).
Made menyampaikan bisnis karaoke memang mengalami keterpurukan, ada sekitar 1000 pekerja terdampak ekonomi. Berbagai kebijakan yang berbahaya seperti pembukaan sekolah SD, SMP, dan SMA yang berada di zona kuning juga tidak dapat dipandang sepele. Para guru khawatir akan mucul klaster sekolah. Selain banyaknya kebijakan yang terkesan prematur seperti ini, masyarakat juga tidak dalam kondisi yang aman karena kelaparan dan meningkatnya kriminalitas. Bahkan akibat pembahasan Omnibus Law, masyarakat nekat berkumpul demi menyampaikan aspirasinya. Pada Selasa (25/8) ribuan buruh menggelar aksi di depan gedung DPR, Jakarta, berunjuk rasa menolak Omnibus Law klaster ketenagakerjaan. Mereka ingin DPR berhenti membahasnya. Setelah buruh itu bubar, disusul kedatangan ratusan mahasiswa dengan berbagai almamater, melakukan aksi dengan tuntutan yang sama (suara.com pada 25/8/20).Akhir-akhir ini sejak new normal menjadi alternatif beberapa daerah, kehidupan masyarakat seolah terlihat normal, tetapi nyata-nyata juga tidak. Orang-orang keluar masuk rumah, naik motor dan kendaraan umum seperti biasa. Bedanya mereka memakai masker dan rajin mencuci tangan atau memakai hand sanitizer. Pedagang kaki lima pasti terdampak, warung makan sepi pembeli. Lebih tepatnya mungkin bukan karena mentaati PSBB, tetapi hemat pengeluaran. Hanya orang-orang kaya yang tetap berbelanja ke swalayan, mall, pergi ke hotel, tempat rekreasi, karaoke, dan clubbing. Maka dari itu, kesempatan emas bagi pengusaha di sektor industri untuk tetap membuka bisnisnya. Akhirnya tidak hanya orang kaya, pelajar dan mahasiswa sekalipun nekat pergi ke hotel dan karaoke. Pada saat yang sama, berita orang tertular corona terus bermunculan. Semua ini karena rantai penyebaran virus tidak benar-benar dihentikan dengan dalih pemulihan ekonomi. Padahal, ekonomi yang dimaksud tidak dinisbahkan kepada rakyat, melainkan para pengusaha dan pemilik modal. Kebijakan yang menarik aksi massa juga pro-kepentingan kapitalis. Jika bertahan dengan kapitalisme demokrasi, maka semua hal ini niscaya terjadi. Lantas, kapan corona selesai?