
Pelaksanaan pemilihan umum di tengah pandemi covid-19 tentu menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Pelaksanaan yang terkesan memaksa dan penyelenggara yang perlu menyesuaikan seluruh agenda dengan protokol kesehatan, tentu akan sangat memberatkan. Dalam suatu negara demokrasi, sistem pergantian pemimpin baik itu kepala daerah ataupun kepala negara memang perlu dilakukan selama 5 (lima) tahun sekali atau satu periode. Demokrasi tentunya memberikan ruang secara terbuka kepada pergantian kepemimpinan. Pergantian kepemimpinan ini bersifat tour of duty memiliki harapan besar bagi pemimpin baru. Sayangnya, di tahun 2020 banyak sekali musibah yang menyerang seluruh dunia salah satunya Indonesia. Tahun yang penuh dengan cobaan ini akan menjadi sejarah mengingat banyaknya pembatasan sejumlah kerumunan massa beserta bengkaknya anggaran negara untuk mencukupi kebutuhan medis yang masih Cuma-Cuma.
Memasuki tahun politik, beberapa negara beserta tim penyelenggara sedang disibukkan untuk mempersiapkan pesta demokrasi. Mau tidak mau, suka tidak suka tim penyelenggara khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah tentu akan mengikuti ketentuan pusat untuk tetap mengadakan pergantian kepala daerah yang telah mencapai massa 5 (lima) tahun menjabat.Secara struktural, tim penyelenggara yakni KPUD tentu wajib melaksanakan pilkada sebagaimana ketentuan berlaku. Namun, hal ini terlihat akan sangat memberatkan tim penyelenggara. Disisi lain KPU perlu memikirkan konsep pelaksanaan tahapan pilkada sesuai dengan prosedur protokol kesehatan, disisi lain KPU juga dituntut untuk berlaku bijak dalam mengambil keputusan apabila terjadi dialektika dalam proses pemilihan.
Proses pilkada 2020 yang akan digelar di 270 daerah meliputi 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten dilaksanakan secara serentak pada tanggal 09 desember 2020 nanti. Dimana KPU menjadikan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 sebagai landasan hukum yang artinya Pilkada akan tetap dilaksanakan dengan mengikuti protokol kesehatan. Jika Pilkada tidak terlaksana dengan alasan adanya pandemi covid, maka tidak ada yang bisa memastikan virus ini kapan berakhir. Begitu kira-kira tantangan yang harus dilewati oleh Indonesia mengingat demokrasi tidak boleh berhenti hanya karena wabah covid, mau tidak mau proses demokrasi harus tetap dilakukan menyesuaikan dengan kondisi.
Menyambut pelaksanaan Pilkada 2020, dirasa akan banyak sekali munculnya calon incumbent (petahana) yang maju dalam kontestasi politik. Calon petahana disinyalir akan menjadi lawan yang berat bagi paslon lainnya baik yang maju melalui jalur partai politik ataupun jalur independent (perseorangan). Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebutkan bahwa akan terdapat 224 calon petahana yang akan mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Figur petahana akan sangat menguntungkan pihak pengusung. Mengingat era pandemi ini, figur petahana akan menjadi sorotan karena memiliki figur sebagai kepala daerah yang mana memiliki peluang besar karena telah dikenal oleh masyarakat. Melihat hal tersebut, Kabupaten Malang menjadi salah satu daerah yang melaksanakan Pilkada yang mana salah satu paslon berasal dari petahana.
Sanusi yang dikenal sebagai Bupati Kabupaten Malang, merupakan salah satu calon yang mendaftarkan diri pada pilkada Kabupaten Malang 2020. Tokoh sanusi yang disebut sebut dikenal sebagai sosok pekerja keras dan tegas, ternyata beliau juga memiliki dedikasi yang baik diberbagai lembaga. Hal itulah yang melekat disegelintir masyarakat Kabupaten Malang. Menariknya, sosok petahana yang maju di pilkada 2020 ini dipasangkan dengan wakil yang berasal dari ketua DPRD Kabupaten Malang. Perpaduan ini akan sangat menarik perhatian mengingat mereka memiliki posisi yang strategis. Kajian ini akan lebih menarik apabila melihat pola dan modal apa yang dimiliki oleh calon petahana sehingga mereka mau bertarung kembali ditengah pandemi covid.
Dominasi petahana disinyalir mampu menggoyahkan demokrasi kita. Ada beberapa perilaku yang bisa terbaca dengan jelas selain upaya untuk mengembalikan modal dan meraup keuntungan pribadi. Idealnya kemenangan petahana akan lebih mudah terbaca mengingat kuatnya kepercayaan publik. Posisi petahana tidak akan jauh dari pola politik pragmatis sehingga meluweskan mereka untuk meraih kepentingan pribadi. Belum lagi dengan pola mobilisasi birokrasi yang pasti akan digunakan untuk memeroleh dukungan. Kemahiran mobilisasi birokrasi juga menjadi salah satu strategi bagi tim pengusung untuk menghemat biaya kampanye. Siapapun yang mencalonkan diri untuk maju pada pemilihan tentu membutuhkan pemodal politik sebagai wadah berinvestasi. Biaya politik yang mahal ditambah dengan kondisi pandemi akan memberatkan beberapa partai politik pengusung. Hal ini yang sangat disayangkan apabila petahana tidak memanfaatkannya dengan baik. secara harfiah, petahana memiliki akses baik itu modal politik, ekonomi, sumber daya uang ataupun power untuk menarik perhatian masyarakat. Kondisi inilah yang bisa menjadi salah satu alasan mengapa calon petahana pada pilkada 2020 meningkat drastis.
Akan menjadi PR berat bagi calon lain yang akan melawan petahana. Karena disisi lain akan ada banyak partai politik yang turut bergabung mengusung petahana. Sama seperti yang penulis contohkan, yakni keberadaan Sanusi-Didik (SanDi) sebagai salah satu calon yang maju pada Pilkada Kabupaten Malang. Tidak main-main calon SanDi diusung oleh 6 (enam) partai politik yang terdiri dari partai PDIP, Demokrat, Nasdem, Golkar, Gerindra, dan PPP. Sejumlah partai ternama saling menguatkan pasangan SanDi untuk berlaga di Pilkada 2020.
Disini penulis tidak terlalu menuntut apapun dalam Pilkada ini selain semoga bisa memunculkan sosok pemimpin yang bijak dalam menjaga amanah dari rakyatnya. Meskipun penulis membahas terkait pola dan modal yang menjadi faktor petahana meningkat di masa pandemi. Setidaknya kondisi Pilkada ini tidak dihebohkan dengan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong. Kedepan, semoga pelaksanaan Pilkada ini dilaksanakan secara tertib dan seluruh kepala daerah yang terpilih nantinya bisa saling berkoordinasi antar pemerintah yang bersinergi untuk memberantas covid-19.

1 thought on “Dominasi Petahana Di Masa Pandemi Goyahkan Demokrasi?”