Etnis Uighur merupakan salah satu etnis muslim yang berada di wilayah China lebih tepatnya di Provinsi Xinjiang, provinsi yang letak wilayahnya berada di paling barat China. Provinsi Xinjiang tidak hanya didiami oleh umat muslim saja, etnis Uighur yang merupakan etnis muslim mayoritas menjadi penduduk di Xinjiang. Nama Etnis Uighur mencuat pada kancah internasional diakibatkan terjadinya kasus kekerasan yang sudah lama terjadi dan kembali menjadi pemberitaan pada tahun 2019 bahkan hingga tahun 2020. Kasus kekerasan ini menjadi sorotan dikarenakan melanggar hak asasi manusia. Berbagai respon internasional muncul dalam menyikapi tindak kekerasan yang terjadi meskipun acap kali China menolak tuduhan adanya pelanggaran HAM.
Terdapat pemberitaan bahwa China membangun kamp konsentrasi yang berisikan masyarakat etnis Uighur namun China yang awalnya menyangkal adanya kamp konsentrasi berdalih dengan mengakui adanya kamps namun mengatakan bahwa kamp tersebut merupakan kamp pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat Uighur. Masih berkaitan dengan adanya kamp konsentrasi, diberitakan media bahwa pemerintah China dalam kamp tersebut menahan penduduk Uighur yang tidak mau melakukan aborsi kehamilan yang melebihi ketentuan pemerintah China untuk memiliki 1 anak, memaksa perempuan etnis Uighur untuk memasang alat kontrasepsi atau melakukan sterilisasi untuk menekan pertumbuhan populasi etnis Uighur, dibeberapa kasus China melakukan paksaan melakukan operasi steril bahkan melakukan tindakan sterilisasi tanpa diketahui yang bersangkutan seperti penyuntikan cairan penghenti menstruasi ataupun obat KB. China dinilai sering menggunakan berbagai alasan bahkan alasan sederhana untuk menurunkan aparat negaranya di Xinjiang untuk “mengamankan” etnis Uighur. Aparat Tiongkok tidak segan-segan menggunakan kekerasan fisik kepada etnis Uighur namun hal tersebut tentu dibantah oleh China.
Respon Internasional Terkait Diskriminasi China di Xinjiang
Perlakuan China ke masyarakat Uighur menimbulkan penentangan dari berbagai entitas internasional, sikap internasional tentu menentang kekerasan yang dilakukan oleh China di Uighur. Salah satu sikap kontra datang dari Amerika Serikat, melalui kebijakannya Trump menunjukkan sikap kontra dengan tindakan China. Amerika Serikat melarang barang-barang ekspor masuk dari Xinjiang ke Amerika Serikat, langkah ini ditempuh Trump untuk menekan China, Amerika Serikat mengatakan bahwa China memperkerjakan paksa etnis Uighur untuk menghasilkan barang yang dapat diekspor ke negara lain, Amerika Serikat juga mengaitkan hal tersebut dengan terciptanya kamp konsentrasi di China. Namun lagi-lagi China menolak tuduhan tersebut.
Respon lain juga dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), akibat banyaknya laporan pelanggraran HAM yang dilakukan China kepada masyarakat Uighur, PBB berusaha menindaklanjuti kasus kekerasan tersebut. PBB meminta akses dari pemerintah China untuk melihat segala aktivitas yang terjadi di “kamp konsentrasi” Xinjiang. Penolakan kunjungan Komisioner Kebijakan HAM Jerman, Barbel Kofler ke kamp tersebut menimbulkan tanda tanya besar, PBB mengecam tindakan China dan menyuruh China menghentikan tindakan diskriminatif China terhadap etnis Uighur. Namun disegala kesempatan China selalu mengatakan bahwa China tidak melakukan kekerasan ataupun tindak pelanggaran HAM lainnya kepada etnis Uighur.
Sikap Indonesia terhadap China mengenai Kasus Uighur
Sampai saat ini respon Indonesia masih tergolong abu-abu, Indonesia tidak memberikan sikap yang kontra maupun setuju dengan tindakan China tersebut. Sebagai negara yang berkomitmen dengan HAM, Indonesia belum terlihat mengecam tindakan China. Indonesia dinilai hati-hati mengambil langkah untuk menyikapi kasus Uighur di China, hal ini dikarenakan Indonesia mengalami kedekatan dengan China dan sedang dalam hubungan yang baik terutama dalam kerjasama perdagangan. Sikap Indonesia yang bungkam dilihat dari sikap Presiden Indonesia, Joko Widodo sebagai perwakilan Indonesia.
Selain dikarenakan hubungan yang baik, saat ini China merupakan salah satu pemodal yang menanamkan saham yang cukup besar di Indonesia. Hal ini dilihat penulis sebagai bentuk ketergantungan Indonesia terhadap China, seperti yang sudah sering dilakukan China terhadap negara-negara lain yang ditanami modal dan diberikan embel-embel bantuan luar negeri. Penulis melihat bahwa saat ini Presiden Jokowi masih membutuhkan China untuk membantu pembangunan ekonomi, perdagangan dan juga infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia sehingga tindakan bungkam Indonesia ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak ingin pihak China tersinggung dan enggan menjalin hubungan kerjasama kembali. Selain itu, penulis juga melihat sikap bungkamnya Presiden Jokowi sebagai usaha untuk mencegah perpecahan yang timbul di domestik Indonesia berkaitan dengan keturunan China di Indonesia dan juga penduduk muslim konservatif.
Meskipun kedepannya Indonesia tidak memberikan respon pasti dan tetap berada di posisi netral seperti politik luar negeri Indonesia yaitu bebas aktif, Indonesia dapat berkontribusi untuk mengurangi tindak kekerasan pada etnis Uighur. Indonesia melalui perwakilannya dapat menerapkan jalur diplomasi dengan melakukan dialog kepada pemerintah China seperti yang dilakukan Indonesia kepada Myanmar atas kasus Ronghiya, namun tindakan ini diperlukan kehati-hatian dan analisis yang mendalam sebelumnya.