Presiden Joko Widodo telah mendatangani dan meresmikan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual pada anak. Disahkan hukuman tersebut karena ditinjau dari angka kejahatan seksual anak di bawah umur di Indonesia yang sangat masif, semakin meningkat dan merajalela. Oleh karennya, perlu payung hukum yang kuat untuk mengurangi kejahatan tersebut, sekaligus untuk melindungi generasi bangsa kedepannya serta menjaga hak-hak asasi anak itu sendiri yakni masa depannya.
Tidak ada cara lain untuk membuat pelaku jera atas perbuatan ini melainkan dengan menghadirkan hukuman yang sangat berat yakni: bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yaitu kejahatan seksual pada anak, memaksa, mengancam dengan kekerasan, agar anak tersebut melakukan hubungan intim atau bersetubuh dengannya, maka pelaku wajib dihukum kebiri penyuntikan zat kimia, rehabilitas, pemasangan alat pendeteksi alat elektronik, serta menyebarkan atau mengumumkan identitas pelaku.
Hukuman dan pelaksanaan ini termaktub dalam Pasal 14-16/PP No. 70 Tahun 2020. Yang ditetapkan oleh Preseiden Joko Widodo dan dijadikan undang-undang oleh menkunham Yosana Lauli pada 7 Desember 2020.
Pro dan Kontra Hukum Kebiri Kimia
Hadirnya hukuman tersebut banyak sekali menuai kontroversi dan menjadi polemik dari berbagai tokoh-tokoh, masyarakat, dan aktivis hukum. Pasalnya, sebagaian beranggapan bahwa hukuman kebiri tidak pantas dilakukan di Indonesia, karena hukuman ini sangatlah berat, kejam dan bisa membahayakan- merusak masa depan pelaku itu sendiri.
Misalnya saja wakil ketua Komnas Ham mengatakan, bahwa peraturan pemerintah terkait hukuman kebiri kimia sangat tidak relavansi atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, karena hukuman ini adalah sebuah bentuk penyiksaan kepada pelaku. Ini jelas-jelas melanggar HAM, dan Pemerintah serta DPR diharapkan dapat mengkaji ulang akan hal ini. Ujarnya dalam (KompasTV/4/21).
Salah satu Komisioner KPAI, Putu Elvina pun ikut andil dalam menyuarakan hal tersebut. Beliau mengatakan, “Keputusan pemerintah sekarang ini tentu saja, ini merupakan ikhtiar untuk memastikan yakni bagaimana penanganan terhadap kasus kejahatan predator seksual anak dilakukan pada tataran penegakan hukum. Hukum ini pula diharapkan menjadi subuah perantara yang membuat efek jera terhadap pelaku pelecehan seksual terhadap anak, serta diharapkan dapat pula mencegah kejahatan seksual terhadap anak yang selama ini sangat marak terjadi. Kompas TV/4/21.
Penulis sendiri berpandangan bahwa, 50% kebijakan tersebut sangat-sangat tepat dan relavan. Bukan berarti 50% nya lagi tidak setuju. Tetapi, dilihat dari PP yang berlaku terkait kasus ini, pemerintah hanya terfokuskan pada pelaku saja. Seharusnya korbannya pun harus lebih diperhatikan, karena yang jelas korban yang berusia masih di bawah umur pasti mengalami trauma psikis, psikologis, tekanan batin yang bisa saja mengakibatkan gangguan jiwa.
Yang pastinya anak tersebut akan dirawat atau direhabilitas demi kesembuhan dan antisipasi terjadi hal yang disebutkan diatas. Jelaslah dalam hal ini pasti membutuhkan biaya yang sangat mahal oleh korbannya. Membayar obat, tempat rehabilitasnya, dan keperluan lainya. Karena itu juga sebagai salah satu tanggung jawab pemerintah, bukan saja pada aspek hukuman pada pelaku melainkan kepada korban pun harus berlaku adil dalam aspek materil.
Sebagaimana tertuang dalam UU 23 Tahun 2020/Pasal 1, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Oleh karenanya, alangkah baiknya jika dalam keputusan tersebut menambahkan satu poin yakni selain tiga hukum tersebut pelaku juga mewajibkan untuk membayar denda atau ganti rugi kepada korban dengan nilai yang setimpal. Tapi bukan berarti keputusan pemerintah yang sekarang ini tidak efektif, tidak adil atau pun sangat tidak bagus. Sebagai anak bangsa yang cinta akan kedamaian, memberi apresiasi terhadap pemerintah yang sudah berlaku tegas dalam menanggulangi kasus ini.
Dan, PP terkait hal ini menumbuhkan rasa empati dan nilai positif masyarakat terhadap pemerintah. Mungkin saja, untuk beberapa tahun kedepan, pemerintah mempunyai rencana baru dalam meninjau kembali terkait hukuman kasus tersebut. Bagaimana seharusnya hukuman kasus pelecehan seksual terhadap anak dapat diterapkan di Indonesia serta ditindak dengan perlakuan yang adil, setara, dan tanpa “diskriminatif” terhadap korban yang berusia masih anak-anak.
Tindakan Kebiri: Sebagai Tanda Bahwa Hukum di Indonesia Mengalami Transformasi
Kritis – analisis penulis sendiri sebagai aktivis hukum terkait hal ini, bahwa pemerintah mengeluarkan keputusan menjatuhkan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual atau pemerkosaan terhadap anak merupakan langkah tindakan yang strategis dan sangat tepat.
Sama sekali hukuman tersebut tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), sangatlah setimpal kalau hukuman tersebut diterapkan. Sebab, pelaku kejahatan seksual pada anak bukan saja membuat korban mengalami tekanan batin dan trauma tetapi menodai serta merusak juga kehormatan dan martabat diri sang anak, dan masa depannya hancur.
Dan juga, jika dibiarkan begitu saja bagi pelaku kejahatan seksual pada anak, yang pastinya menciptkan bibit-bibit baru generasi predator seksual anak selanjutnya. Di sinilah identitas bangsa mulai tercemar buruk oleh generasi yang berperilaku demikian. Yang di mana Indonesia selain terkenal akan adat-budayanya, sumber daya alamnya yang melimpah-ruah. Indonesia juga terkenal akan pemuda-pemudinya yang kental dengan jiwa humanisme, dedikasi, sangat agresif dan proaktif dalam segala bidang keilmuan-sosial masyarakat yang memajukan keadaan bangsa.
Dengan demikian, hadirnya hukuman kebiri sebagai suatu kesyukuran bagi bangsa Indonesia, yang sudah berlaku tegas dan bijak dalam menilik keadaan demi memperkokoh eksistensi hukum itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga sangat loyal, simpati, empati, dan terbuka dalam memperhatikan dan memperdulikan keadaan anak-anak di Indonesia untuk kemajuan generasi-generasi bangsa kedepannya.
Dengan adanya hukuman ini, yang pastinya para pelaku kejahatan seksual terhadap anak akan terkikis, mereka juga akan jera dan berfikir dua kali jikalau ingin melakukan tindakan tersebut.
Pesan moral sebagai anak bangsa. Bahwa, diharapkan kepada aparatur penegak hukum agar dapat ditegakkan dan diimplementasikan dengan sebaik-baiknya secara konsisten. Dengan tujuan dapat memutus segala mata rantai kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur serta benar-benar memberi efek jera kepada pelaku tindakan tidak senonoh tersebut.
“Kemakmuran-kedamaian suatu bangsa bukan terletak pada banyaknya rakyat-rakyat yang cerdas, humanis, dan religius, bukan pula terletak pada rakyatnya yang bergelimang harta kekayaan, dan bukan pula pada pemimpin yang berwibawa, dermawan ataupun kharismatik. Tetapi kemakmuran serta kedamaian suatu bangsa yakni terletak pada eksistensi penegakkan hukum yang adil, tidak tumpul ke atas, dan tidak pula runcing ke bawah”.
Penulis : Helmi Rizkih Saputra (Mahasiswa Hukum Keluarga Islam/FAI Universitas Muhammadiyah Malang)