SETIAP akhir tahun, masyarakat kembali mengalami siklus yang sama, yaitu libur Natal dan Tahun Baru yang disambut dengan antusiasme tinggi. Pusat perbelanjaan ramai, tempat wisata dipenuhi pengunjung, dan media sosial penuh dengan postingan tentang perjalanan wisata, makan bersama, serta acara perayaan.
Di satu sisi, fenomena ini menandai adanya kegembiraan yang dirasakan masyarakat secara kolektif. Namun di sisi lain, fenomena ini juga memunculkan pertanyaan reflektif: “apakah libur Natal dan Tahun Baru masih dimaknai sebagai ruang spiritual serta evaluasi diri, atau justru telah bergeser menjadi ajang gaya hidup yang konsumtif?”
Aktivitas ekonomi meningkat signifikan setiap akhir tahun, masyarakat memanfaatkan libur Natal dan Tahun Baru dengan berbondong-bondong untuk pergi berlibur. Kesannya, liburan tidak lagi sekadar memanfaatkan waktu untuk beristirahat, melainkan menjadi arena kompetisi simbolik yang direpresentasikan sebagai simbol pencapaian dan status sosial. Ke mana seseorang pergi, apa yang dikonsumsi, menginap di mana, dan apa yang dibagikan di media sosial sering kali menjadi tolok ukur “liburan ideal”.
Hal ini menandai adanya pergeseran makna bahwa liburan bukan lagi sebuah kebutuhan melainkan simbol keberhasilan seseorang. Budaya konsumtif ini diperkuat oleh industri pariwisata, ritel, dan media digital yang secara sistematis membangun narasi bahwa kebahagiaan harus dibeli dan dipamerkan.
Pergeseran makna ini berimplikasi pada pemahaman kita terhadap makna Natal dan Tahun Baru itu sendiri. Natal yang sejatinya mengajarkan kesederhanaan, kasih, dan solidaritas sosial, sering kali tereduksi menjadi perayaan simbolik yang sarat akan budaya konsumtif dan kemewahan.
Sementara itu, Tahun Baru yang seharusnya menjadi momen refleksi, evaluasi perjalanan hidup, serta perencanaan masa depan, kerap dirayakan dengan pesta dan euforia sesaat tanpa makna mendalam.
Media sosial memiliki peran signifikan dalam pergeseran makna ini. Arus konten liburan menciptakan standar kebahagiaan yang homogen dan sering kali tidak realistis. Fenomena fear of missing out (FOMO) menjadi tekanan sosial baru, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Individu akan merasa tertinggal jika tidak mampu mengikuti pola konsumsi yang ditampilkan. Dalam konteks ini, libur akhir tahun tidak lagi inklusif, tetapi justru memperlebar jarak sosial antara mereka yang mampu dan yang terpaksa menahan diri.
Dampaknya tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dan psikologis. Tidak sedikit keluarga yang menghadapi tekanan finansial pasca liburan. Lebih dari itu, esensi kebersamaan yang sederhana justru tergerus oleh tuntutan tampil “sempurna” di ruang digital.
Padahal, makna libur sejatinya adalah pemulihan baik fisik, mental, maupun spiritual. Sehingga, kesenjangan sosial semakin tampak jelas di dunia digital, ketika sebagian orang menikmati liburan mewah, sementara yang lain harus bekerja atau berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Natal dan Tahun Baru seharusnya menjadi momentum untuk kembali pada nilai-nilai dasar kemanusiaan. Natal mengingatkan kita akan pentingnya empati, kepedulian, dan pengharapan, sementara Tahun Baru membuka ruang refleksi dan penataan ulang arah hidup yang lebih baik.
Oleh karena itu, libur akhir tahun idealnya menjadi kesempatan untuk memperlambat ritme, membangun kembali relasi dengan keluarga, serta merefleksikan peran kita sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.
Memaknai libur Natal dan Tahun Baru tidak berarti menolak kegembiraan atau kemajuan ekonomi. Melainkan, menempatkan kegembiraan dan kesadaran sesuai porsinya. Merayakan secara sederhana, mengutamakan kebersamaan, serta membuka ruang berbagi dengan sesama justru dapat menghadirkan makna yang lebih dalam dan berkelanjutan dibanding euforia konsumsi sesaat.
Di tengah budaya konsumtif yang kian menguat, tantangan kita adalah menjaga agar libur akhir tahun tidak kehilangan ruhnya. Sebab, pergantian tahun sejatinya bukan soal apa yang kita habiskan, melainkan apa yang kita pelajari dan perbaiki sebagai manusia. (***)




