MALANG POST – Dinamika politik 2025, bakal menjadi pondasi pemerintahan di 2026. Karena 2025 sebagai tahun penuh gebrakan, dalam perjalanan pemerintahan baru.
Meski terjadi kontraksi politik akibat pergantian kepemimpinan, tetap muncul harapan baru. Hal itu terlihat dari adanya penyesuaian kebijakan yang dilakukan pemerintah.
“Kegigihan presiden dan wakil presiden, dalam meyakinkan publik patut diapresiasi. Terutama terkait komitmen pemberantasan korupsi dan upaya membangun aparat yang berintegritas,” ujar dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, sekaligus Direktur Center for Election and Political Party (CEPP), Prof. Dr. Asep Nurjaman, M.Si, Selasa (23/12/2025).
Namun, katanya saat menjadi narasumber talk show di program Idjen Talk, dia menekankan tantangan terbesar pemerintah, tetap pada kewajiban moral menciptakan kesejahteraan rakyat.
Kepuasan rakyat terhadap pemerintahan baru, tambahnya, akan benar-benar terlihat pada pemilu berikutnya. Termasuk dalam dinamika pergeseran sistem politik. Seperti wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD, yang hingga kini masih menuai pro dan kontra.
Sedangkan di tahun 2026, Prof. Asep melihat dinamika politik nasional diprediksi mulai bergerak ke arah konsolidasi internal partai.
Partai-partai besar, sebut Prof. Asep, biasanya mulai menunjukkan geliat ke arah kekuasaan nasional. Menimbang sosok calon presiden berikutnya, sebagai bagian dari strategi jangka pendek menuju Pemilu 2029.
“Pada internal pemerintahan, evaluasi kebijakan juga akan semakin intens dilakukan karena berdampak langsung pada citra publik.”
“Sejumlah program yang sempat berjalan di tahun ini, kemungkinan akan ditarik ulur dan disesuaikan sebagai bentuk respons atas dinamika politik dan sosial yang terjadi,” katanya.
Namun di luar struktur kekuasaan, narasi pro dan kontra terhadap pemerintah diprediksi akan semakin menguat.
Menurut Prof. Asep, tekanan politik seringkali digunakan sebagai cara untuk mendorong perbaikan kinerja, sekaligus menyeimbangkan kepercayaan publik.
Sementara itu, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya, Maulina Pia Wulandari, S.Sos., M.Kom., Ph.D., juga menilai, dinamika komunikasi pemerintahan sepanjang 2025 penuh kegaduhan dan meninggalkan luka di tengah masyarakat.
Riuhnya komunikasi publik pemerintah, sebut Pia, memicu trust issue. Terutama sejak munculnya kekecewaan publik terhadap kebijakan PPN 12 persen dan berbagai tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat.
“Komunikasi antara legislatif dan eksekutif, kerap dianggap tidak peka terhadap kondisi rakyat. Tercermin dari luapan emosi masyarakat di media sosial, hingga aksi demonstrasi di jalanan.”
“Meski situasi ini masih tergolong wajar bagi pemerintahan baru, yang sedang melalui fase penyesuaian,” kata Pia.
Ke depannya, Pia memprediksi pemerintah akan belajar dari luka komunikasi yang terjadi tahun ini.
Tantangan tidak hanya datang dari internal. Tetapi juga dari kecanggihan teknologi AI, yang berpotensi menimbulkan misinformasi di tengah masyarakat.
“Presiden perlu segera membangun sistem komunikasi publik dalam satu kanal one voice,” tegasnya. (Faricha Umami/Ra Indrata)




