MALANG POST – Sebagai seorang ayah yang setiap hari berjuang menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, saya pribadi sangat tersentuh dengan langkah terbaru dari Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN.
Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah (GEMAR), yang mengajak para ayah di seluruh Indonesia untuk aktif hadir mengambil rapor anak di sekolah mulai Desember ini.
Gerakan ini bukan sekadar formalitas, tapi respons langsung terhadap isu fenomena fatherless yang semakin mengkhawatirkan.
Berdasarkan Pendataan Keluarga (PK) 2025 dari BKKBN, sekitar 25% keluarga di Indonesia memiliki anak yang mengalami kondisi fatherless, baik secara fisik maupun emosional.
Artinya, satu dari empat anak tumbuh tanpa keterlibatan ayah yang cukup, meski ayahnya mungkin masih tinggal serumah. Fenomena ini bisa memicu masalah akademik, perilaku agresif, hingga risiko sosial lainnya pada anak.
Saya ingat betul, dulu saat saya masih kecil, sering kali ibu yang seringkali mengambil rapor karena ayah saya sibuk bekerja di ladang sebagai petani.
Termasuk yang membelajari saya membaca dan menulis. Memang hal tersebut tidak sepenuhnya salah, karena pekerjaan seorang petani lebih banyak membutuhkan fisik, dan hal tersebut cenderung dibebankan kepada sosok seorang ayah.
Tapi sekarang, setelah membaca edaran ini, saya sadar betapa pentingnya momen sederhana itu.
Mengambil rapor bukan hanya soal melihat nilai, tapi kesempatan berharga untuk berdialog dengan guru, memahami perkembangan anak, dan memberikan dukungan emosional langsung.
Seperti yang ditekankan Mendukbangga, kehadiran ayah bisa membangun kepercayaan diri anak, meningkatkan motivasi belajar, dan memperkuat ikatan keluarga.
Setiap hati seorang ayah akan tersentuh saat membuka hasil belajar anaknya, apalagi ketika mendengar ucapan guru, ‘Ayah, selamat… ananda telah menunjukkan perkembangan yang sangat baik.’
Pada momen itu, seorang ayah pasti akan merenung dalam-dalam; ‘’seberapa besar peran yang telah saya sumbangkan untuk mendampingi perjalanan anak ini?’’.
Norma budaya patriarki di Indonesia masih mengakar kuat. Pengasuhan anak kerap dipandang sebagai tanggung jawab ibu semata, sementara ayah berperan utama sebagai pencari nafkah.
Situasi yang lebih memprihatinkan, meskipun semakin banyak ibu yang bekerja dan berkontribusi secara ekonomi, beban mengasuh anak tetap dominan pada mereka.
Sebuah ketidaksetaraan gender yang menghambat pengasuhan bersama dan memperburuk fenomena fatherless.
Harapan untuk perubahan nyata sebagai ayah, saya mendukung penuh gerakan ini. Meskipun Edaran ini mendorong dispensasi keterlambatan masuk kerja bagi ayah, determinasi tinggi akibat beban pekerjaan.
Ini langkah kecil, tapi bisa menjadi awal dari pengasuhan bersama yang lebih setara antara ayah dan ibu membangun keluarga berkualitas, dan mempersiapkan generasi emas Indonesia.
Para ayah di luar sana, mari kita mulai dari hal sederhana, hadir di sekolah saat anak menerima rapor. Anak-anak kita butuh kita tidak hanya sebagai pencari nafkah, tapi sebagai pendamping sejati.
Gerakan ini bisa menjadi titik balik untuk keluarga Indonesia yang lebih kuat dan bahagia. (***)
Penulis: Suhardi, S.Pd., M.Pd., Kepala Seksi Karir dan Alumni, Direktorat Kemahasiswaan dan Alumni UM




