MALANG POST – Banjir yang terjadi di Kota Malang, tidak lepas dari kondisi saluran air yang banyak tidak berfungsi dan air tidak menemukan jalur alirannya.
Padahal secara infrastruktur, Kota Malang sudah punya saluran drainase. Namun faktor sedimentasi, penyumbatan sampah dan penyempitan dimensi saluran akibat bangunan di atas drainase membuat jalur air tak optimal.
Penegasan itu disampaikan Kepala DPUPRPKP Kota Malang, Dandung Julhardjanto, saat menjadi narasumber talk show di program Idjen Talk, yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Selasa (9/12/2025).
Dandung mengatakan, banyak saluran yang seharusnya terbuka saat ini tertutup bangunan sehingga sulit dinormalisasi.
“Seperti di kawasan Bajang Ratu dan Jalan Letjen Sutoyo, yang menjadi kewenangan provinsi, endapan sedimen yang hampir dua tahun belum dikeruk dan main menumpuk, hingga memperparah luapan air saat hujan terjadi,” jelasnya.
Untuk mengatasi hal itu, tambah Dandung, DPUPRPKP melakukan normalisasi setiap hari berdasarkan pemantauan lapangan maupun laporan warga.
Selain itu, Dandung juga mengatakan perbaikan drainase Jalan Galunggung dan Letjen Sutoyo ke utara akan dilakukan tahun depan.
Dandung menyebut, ruang terbuka hijau semakin berkurang. Sehingga daya serap tanah hilang dan air menjadi limpasan yang langsung menuju saluran. Jika saluran tidak berfungsi, maka limpasan itulah yang berubah menjadi dan banjir.
Menurutnya, penyempitan dan penyumbatan drainase sebagian besar dipicu perilaku warga yang membuang sampah sembarangan.
“Sedimentasi yang menumpuk pun sulit dibersihkan. Kalau saluran sudah tertutup bangunan, sehingga problem semakin kompleks,” tandasnya.
Pihaknya terus berupaya melakukan pengerukan setiap hari. Namun tetap harus didukung dengan perubahan perilaku dan keberanian mengambil kebijakan tegas atas bangunan yang melanggar.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat pun perlu dilakukan, mengkomunikasikan pentingnya menjaga saluran air karena perannya sangat krusial.
Sementara itu, Guru Besar Teknik Pengairan Unviersitas Brawijaya, Prof. Dr. Ir. Muhammad Bisri, MS., menyebut, banjir Kota Malang tidak bisa dipandang sebagai masalah tunggal. Tapi persoalan multidisiplin yang saling berkaitan.
“Dengan jumlah penduduk yang meningkat dari 800 ribu menjadi sekitar 1,5 juta karena tambahan penduduk perguruan tinggi.”
“Kebutuhan hunian pun melonjak hingga mendorong alih fungsi lahan secara masif. Kondisi itulah yang membuat kemampuan tanah menyerap air juga berkurang,” sebutnya.
Secara pandangan akademis Kota Malang, tandasnya, memang punya potensi alami terjadinya banjir. Namun akar masalah sebenarnya ada pada lemahnya pengendalian alih fungsi lahan dan pengawasan tata ruang.
“Jika pengendalian jumlah penduduk dan konversi lahan tidak dibatasi, maka seoptimal apa pun infrastruktur drainase dibangun, banjir tetap akan berulang karena wilayah tak lagi memiliki ruang resapan yang memadai,” ujar mantan Rektor Universitas Brawijaya ini.
Sebagai solusi, pihaknya juga mendukung penguatan masterplan drainase, merekomendasikan kombinasi antara pembangunan sumur injeksi dan konservasi drainase sekunder-tersier menjadi sumur resapan, agar limpasan air dapat berkurang signifikan.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Malang, Dito Arief Nurakhmadi menyampaikan, fenomena banjir 4 Desember sebagai alarm serius yang harus segera ditangani Pemkot Malang.
Kata Dito, akar masalahnya bukan soal masalah teknis, melainkan akumulasi pembiaran bertahun-tahun terhadap bangunan liar di atas sungai dan drainase.
“Tahun ini anggaran penanganan banjir dari APBD Kota Malang sebesar Rp50 miliar, tidak sebanding dengan kebutuhan merealisasikan masterplan drainase senilai sekitar Rp1,8 triliun,” katanya. (Faricha Umami/Ra Indrata)




