Dosen Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus petani asal Banyuwangi, Ary Bakhtiar., M.Si., IPM., Asean Eng. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025/2026, Indonesia kembali dihadapkan pada lonjakan harga bahan pangan yang kian memberatkan masyarakat.
Sejak awal November, harga sejumlah komoditas pokok di berbagai pasar tradisional terus merangkak naik.
Terutama beras, cabai, bawang merah dan daging sapi yang menjadi kebutuhan utama rumah tangga.
Dosen Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus petani asal Banyuwangi, Ary Bakhtiar., M.Si., IPM., Asean Eng, menegaskan bahwa produksi pangan turun signifikan pada akhir tahun ini.
“Harga cabai saja yang awalnya Rp 20.000 per kilogram kini melonjak menjadi Rp 73.000. Ibu-ibu akhirnya hanya membeli seperempat kilogram,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa berbagai agenda besar yang berdekatan yakni Natal, Tahun Baru, hingga Ramadan pada Februari 2026 juga turut mendorong meningkatnya permintaan.
Selain itu, ia menerangkan bahwa kenaikan ini dipicu oleh kombinasi antara cuaca ekstrem, terganggunya distribusi pasokan, serta penurunan produksi akibat curah hujan tinggi.
Perubahan iklim turut memperburuk kondisi, sementara kebutuhan masyarakat meningkat menjelang perayaan akhir tahun.
Sebagai langkah mitigasi, Ary menyarankan sejumlah solusi.
“Pemerintah perlu hadir lebih kuat dalam menjaga stabilitas pangan, terutama di tingkat produksi dan distribusi,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa pendampingan dan perlindungan bagi petani harus diperkuat, mulai dari teknologi pengendalian hama berbasis cuaca hingga akses pupuk dan bibit yang lebih stabil.
Ia juga menekankan pentingnya peningkatan infrastruktur distribusi agar pasokan tidak terhambat saat cuaca ekstrem.
Selain itu, menurutnya, pemerintah daerah dan pusat perlu menyiapkan operasi pasar dan cadangan pangan untuk menekan lonjakan harga pada komoditas yang paling sensitif.
Lonjakan harga bahan pangan ini menjadi persoalan serius karena memengaruhi banyak lapisan masyarakat dan mengancam stabilitas ekonomi rumah tangga maupun usaha kecil.
Jika tidak dikendalikan segera, kondisi ini dikhawatirkan akan memperburuk daya beli masyarakat dan keberlanjutan usaha di awal tahun mendatang.
Terakhir, Ary berharap agar upaya stabilisasi pangan dapat dilakukan secara lebih menyeluruh dan berkelanjutan oleh berbagai pihak.
“Saya berharap pemerintah dapat memperkuat sistem pangan kita, bukan hanya saat krisis atau menjelang hari besar, tetapi sepanjang tahun,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa petani, UMKM, dan konsumen harus sama-sama mendapat perlindungan agar rantai pasok tetap kuat.
Menurutnya, perencanaan yang matang, dukungan teknologi, dan pendampingan yang konsisten merupakan kunci untuk menciptakan ketahanan pangan yang benar-benar tangguh. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




