Malang – Duta Besar LBBP RI untuk Republik Kolombia, merangkap Antigua dan Barbuda, Saint Cristopher dan Nevis, Drs Priyo Iswanto MH.
Ia mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Gelar doktor ilmu sosial, di bidang etika diplomasi.
Priyo, panggilan akrabnya, meraih gelar ini, atas dedikasinya dalam diplomasi selama pengabdiannya di Kemenlu RI.
Rektor UMM, Dr Fauzan M.Pd menyampaikan. Priyo Iswanto patut menyandang gelar doktor. Ini karena kapasitas intelektual dan keberhasilannya dalam menjalankan diplomasi. Salah satunya, peran strategis dalam upayanya meminimalisasi tuduhan dunia akan sustainability industri sawit.
“Pemberian anugerah gelar doktor honoris kausa terhadap peran anak bangsa. Ini juga bagian dari tanggung jawab moral kebangsaan yang dimiliki UMM. Gelar ini juga menjadi rekognisi akademik. Harus dimaknai untuk memainkan peran hidup yang bermanfaat bagi bangsa dan negara,” ungkapnya.
Senada dengan Fauzan. Menko PMK, Prof Dr Muhadjir Effendy M.AP sekaligus perwakilan Badan Pembina harian (BPH) UMM mengatakan. Priyo layak mendapat gelar ini. Ia juga menyinggung, bahwa UMM tidak gampang memberikan gelar doktor honoris kausa.
Bahkan dengan usia dan reputasi yang dimiliki, UMM baru memberikan gelar ini kepada tiga orang saja. “Peranan Pak Priyo, tidak hanya meyakinkan pasar akan kedudukan sawit. Tapi mencoba menggandeng kekuatan-kekuatan yang belum terbangun di dunia dalam aspek kelapa sawit. Taktik ini sangat jitu untuk menghadapi tantangan yang ada di pasar global,” jelasnya lebih lanjut.
Dalam orasi ilmiahnya, Priyo menjelaskan. Terkait strategi meningkatkan reputasi kelapa sawit. Khususnya dari perspektif tujuan pembangunan dan berkelanjutan (SDGs) plus. Ia menerangkan bahwa kelapa sawit bisa dilihat dan dipahami melalui empat dimensi.
Antara lain, dimensi ekonomi, sosial, lingkungan serta moral. Dari aspek ekonomi. Kelapa sawit menjadi faktor penting dalam menekan angka kemiskinan dan mengurangi kelaparan. Selain itu, juga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan yang layak.
Kelapa sawit juga mampu membantu mengurangi kesenjangan sosial antara penduduk kota dan desa. Menjamin kualitas dan standar kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, kelapa sawit juga tidak lepas dari tuduhan negative.
Padahal, faktanya kelapa sawit memerlukan lahan yang lebih hemat ketimbang kedelai maupun kanola. Kelapa sawit juga menyumbang emisi gas karbondioksida hanya 5%.
“Menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sait Indonesia (GAPKI), kelapa sawit justru menyerap 161 ton karbondioksida. Dan, menghasilkan oksigen sebanyak 18,7 ton/ha per tahun,” tuturnya lebih lanjut.
Sebagai Dubes RI untuk Kolombia, pria kelahiran Kudus ini, telah berprakarsa bagi Kolombia. Hingga bisa menjadi anggota Dewan Negara Produsen Sawit (CPOPC). Langkah ini diyakini mampu memperkuat CPOPC dan dukungan untuk melawan kampanye hitam terhadap komoditas minyak sawit dunia.
Priyo juga menjelaskan. Telah tercapai kesepakatan antara ASEAN dan Uni Eropa tentang isu kelapa sawit yang dikaitkan SDGs. Namun kampanye positif penghasil kepala sawit masih harus terus dilakukan. Harapannya, publik bisa semakin percaya bahwa komoditas ini sebenarnya memiliki banyak nilai positif dan manfaat. (roz/jan)