MALANG POST – Dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang disalurkan ke sekolah, disebut-sebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan operasional.
Karena alasan itulah, kemudian membuat beberapa sekolah negeri, melakukan pungutan kepada siswanya dengan berbagai dalih.
Padahal kata Guru Besar Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. Achmad Supriyanto, M.Pd., M.Si., secara aturan, pungutan di sekolah negeri memang dilarang.
“Namun kenyataannya di lapangan, masih ditemukan banyak pungutan yang dilakukan,” kata Prof Supriyanto, saat menjadi narasumber talk show di program Idjen Talk, yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Selasa (2/12/2025).
Menurutnya, dana BOS yang disalurkan ke sekolah namun angkanya tidak cukup untuk menjalankan berbagai program dan operasional sekolah, maka muncul praktik pungutan yang disalahartikan sebagai solusi menutupi kekurangan dana.
Namun Prof Supriyanto menilai, sebenarnya sekolah punya banyak cara untuk menutup kekurangan biaya tanpa melanggar aturan. Seperti inovasi wirausaha.
Dia juga mendorong pihak sekolah, terus membangun komunikasi dengan orang tua siswa, agar kualitas layanan pendidikan tetap terjaga tanpa membebani siswa.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Timur, Agus Muttaqin, juga menegaskan, penggalangan dana di sekolah sebenarnya diperbolehkan asal bentuknya sumbangan sukarela, bukan pungutan.
Di Jawa Timur, katanya, ada Pergub Nomor 8 Tahun 2023 yang menegaskan pula, penggalangan dana harus melalui komite sekolah tanpa campur tangan pihak sekolah.
Hingga saat ini, Agus mengaku masih banyak laporan yang masuk terkait pungutan di sekolah negeri.
Ketika itu terjadi, kata Agus, pihaknya memberi dua opsi penanganan. Yakni pengembalian dana ke orang tua siswa oleh sekolah, atau pembenahan administrasi sekolah agar sumbangan dinyatakan murni sukarela bukan pungutan yang terikat pada nominal, waktu bahkan disertai sanksi.
“Tantangan terbesar saat ini, pada tata kelola pengaduan dan respons cepat dari dinas pendidikan setempat,” jelasnya.
Jika laporan tidak segera ditangani, lanjut Agus, hingga tanpa solusi, maka pelapor akan skeptis pada pemerintah.
“Namun Ombudsman siap hadir, jika aduan tidak diselesaikan dalam kurun waktu dua pekan,” demikian sebutnya. (Faricha Umami)




