MALANG POST – Perjalanan Fida Pangesti, S.Pd., M.A., dosen Bahasa Sastra Indonesia (BSI) Modern Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menuju studi doktoral di Austria ternyata memiliki cerita tersendiri. Ia sudah mengincar beasiswa IASP sejak dua tahun lalu, meski saat itu ada syarat tahun kelulusan yang belum bisa dipenuhinya.
Namun serangkaian pengalaman akademik mulai dari Microcredential Literacy di Western Sydney University Australia pada 2023 hingga program PKBI di UPI Bandung pada 2024, justru membuka jalan baru yang mengarahkan fokusnya pada pertemuan dua hal favorit berupa pengajaran tata bahasa Indonesia dan kecerdasan buatan (AI).
Beasiswa IASP (Indonesia-Austria Scholarship Programme) adalah program beasiswa yang ditawarkan oleh Pemerintah Austria dan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk dosen tetap di Indonesia yang ingin melanjutkan studi S3 di Austria.
Austria dipilih bukan hanya karena reputasi akademiknya yang kuat, tetapi juga karena atmosfer belajarnya yang aman, inklusif dan sangat mendukung peneliti internasional.
“Saya sudah mengetahui beasiswa IASP sejak dua tahun lalu dan tertarik karena kualitas institusi di Austria. Ketika syarat masa kelulusan magister dihapus, saya merasa inilah waktunya mencoba. Perjalanan akademik saya sejak 2023 justru menjadi pintu yang mengarahkan saya sampai ke titik ini,”ujarnya.
Proses seleksi beasiswa ia jalani dengan penuh dinamika. Mulai dari berkas administrasi hingga wawancara luring dengan 4 pewawancara Austria dan 1 pewawancara Indonesia yang langsung membahas inti penelitiannya.
“Yang paling menantang adalah mencari supervisor karena banyak yang menolak topik saya. Wawancara juga langsung fokus ke riset tanpa perkenalan, seperti seminar proposal versi kilat,” ungkapnya.
Penelitian utamanya berjudul AI-Assisted Grammar Learning in Indonesian as a Foreign Language, yang berusaha menilai bagaimana generative-AI bisa meningkatkan metalinguistic awareness atau kesadaran kebahasaan pemelajar.

Menurutnya, tata bahasa adalah salah satu area yang paling sering dianggap “menguras tenaga” baik bagi pengajar maupun pemelajar. Dengan pendekatan mix method, ia akan melakukan eksperimen intervensi berbasis AI dan dilanjutkan dengan wawancara mendalam.
Meski riset belum berjalan, ia menyebut penyusunan desain intervensi menjadi tantangan tersendiri karena harus mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, hingga semantik.
“Supervisor sangat suportif. Saya bebas memilih mata kuliah lintas jenjang dan diarahkan melakukan pilot penelitian di kelas BIPA di Vienna, bahkan disarankan berkunjung dan berkolaborasi dengan ahli AI dalam pembelajaran bahasa di Nanyang Technological University Singapore,” ujarnya.
Di luar kegiatan akademik, Austria menawarkan banyak kejutan menyenangkan. Mulai dari budaya Ruhetag yang membuat semua toko tutup saat hari Minggu, menomorsatukan pejalan kaki, hingga banyaknya diskusi serta workshop lintas budaya, lintas agama, dan lintas disiplin ilmu.
Perpustakaan menjadi tempat favoritnya, bukan hanya karena suasananya yang tenang, tetapi juga karena sering melihat lansia yang tetap giat belajar—pemandangan yang menurutnya sangat menginspirasi.
“Saran saya, persiapkan portofolio sejak awal, bangun jaringan dengan calon pembimbing, dan pilih topik yang benar-benar relevan. Kesiapan dan ketekunan sering lebih berpengaruh daripada sekadar kecerdasan,” kata Fida.
Pada akhirnya, perjalanan Fida bukan sekadar cerita tentang mendapatkan beasiswa internasional, tetapi juga tentang bagaimana riset yang ia jalankan bisa membuka jalan baru bagi pembelajaran BIPA berbasis teknologi.
Penelitiannya menegaskan bahwa AI bukan hanya tren, tetapi alat strategis untuk membuat pembelajaran tata bahasa Indonesia lebih mudah, menarik, dan siap bersaing di ranah global. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




