MALANG POST – Gelombang digitalisasi yang kian intensif membawa dampak signifikan terhadap proses pembentukan kehendak publik, yang merupakan fondasi utama legitimasi dalam negara demokratis. Untuk mengkaji dinamika tersebut secara lebih komprehensif, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 18 November 2025 menghadirkan Dr. Sascha Hardt dalam kuliah tamu bertema “Digitalization and Constitutional Change: Challenges and Opportunities for Democratic Legitimacy”.
Sebagai pakar hukum tata negara, Hardt menjelaskan bahwa inti dari demokrasi representatif terletak pada legitimasi negara yang bersumber dari kehendak rakyat. Namun, menurutnya, digitalisasi membuat proses pembentukan kehendak publik tidak lagi berlangsung secara alami.
Dunia digital memungkinkan pihak tertentu memengaruhi opini individu secara sistematis melalui algoritma yang tidak transparan. Kondisi ini membuat proses demokrasi tampak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi pada dasarnya dikendalikan oleh sistem digital yang dirancang oleh perusahaan teknologi maupun aktor politik tertentu.
Hardt menegaskan bahwa persoalan hari ini tidak lagi sesederhana “pemilu curang” atau “hak pilih dibatasi”, karena distorsi terjadi jauh sebelum rakyat mengekspresikan pilihan politiknya.
“Masalah terbesar demokrasi modern bukanlah apakah pemilu berlangsung jujur, tetapi apakah kehendak individu sebelum masuk bilik suara benar-benar milik mereka atau hasil manipulasi ekosistem digital?,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa media sosial bekerja dengan prinsip selektivitas informasi yang ekstrem. Algoritma menentukan mana informasi yang dianggap relevan bagi pengguna. Sehingga masyarakat terjebak dalam ruang gema (echo chambers) yang membatasi akses pada pandangan berbeda. Kondisi ini membuat publik tidak lagi terpapar argumen beragam yang menjadi syarat deliberasi demokratis yang sehat.
Lebih lanjut, Hardt memaparkan bahwa perkembangan kecerdasan buatan membuat proses manipulasi semakin presisi. Aktor politik dapat menargetkan kelompok tertentu dengan pesan yang disesuaikan berdasarkan profil psikologis individu. Dalam konteks ini, Hardt menilai digitalisasi berpotensi merusak dua prinsip penting demokrasi sebagaimana dikemukakan Cass Sunstein.
Pertama, masyarakat harus memiliki akses terhadap isu-isu yang sama untuk membangun kesadaran kolektif. Kedua, masyarakat harus terpapar perbedaan pendapat untuk mencegah polarisasi ekstrem.
Akademisi asal Belanda tersebut, juga mengkritisi respons negara yang dinilai lambat dalam menghadapi ancaman digital. Menurutnya, banyak regulasi bersifat reaktif dan tidak mampu mengejar kecepatan inovasi teknologi. Ia menegaskan bahwa demokrasi membutuhkan infrastruktur digital yang bukan hanya aman, tetapi juga transparan dan dapat diawasi secara publik. Tanpa hal tersebut, proses politik akan terus dimanfaatkan oleh pihak yang menguasai teknologi informasi.
“Legitimasi politik pada akhirnya akan rapuh bila negara tidak mampu menjamin bahwa rakyat membentuk pendapat politiknya secara bebas, bukan hasil kurasi algoritmik yang disembunyikan,” ucapnya.
Meski demikian, Hardt menilai digitalisasi tetap membuka sejumlah peluang bagi penguatan demokrasi, antara lain memperluas akses publik terhadap proses pengambilan keputusan dan meningkatkan partisipasi politik. Namun, ia menekankan bahwa peluang tersebut hanya dapat diwujudkan jika negara, akademisi, dan masyarakat sipil berkomitmen membangun literasi digital, transparansi algoritma, serta mekanisme pengawasan terhadap platform digital berskala besar.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UMM Prof. Dr. Tongat, S.H., M.Hum. mengapresiasi pentingnya diskusi tersebut sebagai langkah untuk memperkaya kajian hukum tata negara kontemporer. Ia menilai bahwa isu digitalisasi bukan lagi wacana masa depan, melainkan persoalan aktual yang tengah membentuk ulang hubungan antara negara, warga, dan teknologi.
Fakultas Hukum UMM, menurutnya, akan terus menghadirkan diskusi lintas negara agar mahasiswa dapat memahami persoalan global yang berdampak langsung pada tata kelola demokrasi Indonesia. Melalui forum seperti ini, UMM menunjukkan komitmennya untuk memperkuat kapasitas intelektual mahasiswa dalam membaca perubahan zaman secara kritis dan solutif.
“Paparan materi kali ini sangat penting bagi mahasiswa dan akademisi hukum. Kita tidak bisa lagi memahami konstitusi hanya dalam konteks analog karena ada tantangan baru yang menuntut kajian serius, terutama terkait legitimasi kekuasaan di era digital,” ujar Tongat. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




