Para guru besar saat di kukuhkan bersama Rektor UMM, Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada 22 November 2025 telah mengukuhkan tiga guru besar. Kali ini giliran Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang menambah jumlah guru besar. Meskipun berasal dari fakultas yang sama, namun riset dan kepakaran bidangnya berbeda. Yaitu pengembangan kurikulum, mikrobiologi lingkungan hingga Ilmu Pendidikan Bioetika.
Adapun ketiganya adalah Prof. Dr. Moh. Mahfud Effendi, MM., Prof. Dr. Lud Waluyo, Drs., M.Kes., dan Prof. Dr. Atok Miftachul Hudha, M.Pd.
Prof Mahfud dalam orasinya menegaskan bahwa gagasan Kurikulum Indonesia Satu (KIS) dirancang sebagai kurikulum pemersatu tanpa menghilangkan keberagaman. Ia menilai pendidikan nasional selama ini kerap terjebak pada keseragaman. Padahal Indonesia dibangun atas ribuan budaya, bahasa dan tradisi yang harus tetap hidup dalam proses belajar.
Karena itu, KIS menurutnya wajib memberi ruang bagi identitas lokal, menempatkan budaya daerah sebagai akar pembelajaran sekaligus pijakan untuk melangkah ke arah global. Kurikulum ini diharapkan tidak hanya mengikuti perubahan zaman, tetapi juga menuntun arah peradaban bangsa menuju tujuan pendidikan yang humanis dan berkeadaban.
“Kurikulum Indonesia Satu harus menuntun, bukan menyeragamkan. Anak-anak Indonesia berhak belajar dari akar budayanya sendiri sambil bersiap menghadapi dunia yang semakin global. Pendidikan itu bukan sekadar angka dan ujian, tetapi memanusiakan manusia. Teknologi, termasuk kecerdasan buatan, harus digunakan sebagai alat untuk memerdekakan, bukan menciptakan kesenjangan. Jika kita mengajarkan anak-anak seperti kemarin, kita merampas masa depan mereka,” ujarnya.
Lebih jauh, Mahfud menjelaskan bahwa KIS mesti terintegratif, memadukan ilmu pengetahuan dengan nilai, budaya, dan kehidupan nyata, sehingga pembelajaran lebih bermakna. Ia menekankan perlunya kurikulum yang menghubungkan mata pelajaran dengan kearifan lokal serta realitas sosial, sehingga anak tidak belajar untuk ujian, tetapi untuk memahami dunia dan dirinya. Menurutnya, kurikulum berjiwa humanis, inklusif, dan berbasis teknologi yang berkeadilan adalah syarat mutlak untuk membentuk generasi Indonesia Emas 2045.
Sementara itu, dalam orasinya, Lud menjelaskan persoalan limbah cair yang kini semakin kompleks akibat pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi. Selain itu juga hadirnya senyawa rekalsitran serta xenobiotik yang sulit diurai mikroorganisme alami. Ia menegaskan bahwa pendekatan kimia tidak lagi memadai karena berpotensi menciptakan residu baru yang berbahaya, sehingga solusi berbasis mikrobiologi lingkungan menjadi kebutuhan mendesak. Menurutnya, krisis ekologis modern hanya dapat diatasi melalui teknologi hijau yang memanfaatkan kemampuan biologis organisme hidup secara lebih aman dan berkelanjutan.
“Penelitian saya sejak 1998 hingga 2025 menunjukkan bahwa solusi limbah terbaik berasal dari mikroba indigen yang hidup dalam limbah itu sendiri, riset panjang ini berhasil mengidentifikasi 108 isolat bakteri heterotrofik yang toleran deterjen dan LAS serta efektif mematikan patogen. Ini kemudian saya rumuskan menjadi konsorsium bakteri stabil dengan kemampuan tinggi menurunkan BOD, COD, TSS, dan residu deterjen,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengembangkan konsep biofitoremediator, yakni teknologi hibrid yang menggabungkan konsorsium bakteri Bacillus spp. dengan tumbuhan air seperti Salvinia molesta, Pistia stratiotes, Eichhornia crassipes, dan Hydrilla verticillata. Sistem ini terbukti mempercepat penurunan polutan, meningkatkan jangkauan remediasi, serta memperkuat ketahanan mikroba terhadap toksikan, termasuk logam berat hingga 100 ppm.
Ia menegaskan bahwa keberhasilan paten biofitoremediator dan penerapannya pada limbah domestik, industri tahu, perhotelan, dan tapioka menjadi bukti bahwa pendekatan bioremediasi tidak hanya solusi teknis, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral manusia untuk menjaga keberlanjutan ekologis.
Di sisi lain, Atok menilai bahwa pendidikan sains di Indonesia masih lemah karena peserta didik tidak dibiasakan menimbang aspek moral dari setiap praktik laboratorium yang dilakukan. Perkembangan bioteknologi yang cepat menghadirkan dilema etis baru yang tidak tertampung dalam kurikulum konvensional, sehingga pendidikan bioetika menjadi kebutuhan mendesak agar keputusan ilmiah tidak hanya benar secara teknis, tetapi juga bertanggung jawab terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Menurutnya, pembelajaran biologi tidak boleh berhenti pada hafalan konsep, melainkan harus menumbuhkan kesadaran tentang konsekuensi moral dari setiap tindakan ilmiah.
Ia menjelaskan bahwa lemahnya literasi etis membuat mahasiswa mengerjakan eksperimen secara mekanis tanpa memahami implikasi moralnya, dan kondisi ini berpotensi melahirkan praktik berisiko serta mengabaikan keselamatan dan kesejahteraan organisme. Untuk menjawab persoalan ini, ia mengembangkan model pembelajaran OIDDE (Orientation, Identify, Discussion, Decision, Engage in Behaviour). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model OIDDE secara konsisten meningkatkan kemampuan penalaran etis, memperkuat pertimbangan moral ketika menghadapi dilema eksperimen, serta memperbaiki perilaku laboratorium mahasiswa.
“Model ini menjadi landasan penting bagi masa depan pendidikan sains karena membentuk ilmuwan yang tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga mampu mengambil keputusan ilmiah yang bijak dan etis,” pungkasnya. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




