Prof. Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Profesor Hukum Pidana Anak, Prof. Dr. Nurini Aprilianda, S.H., M.Hum., menilai Indonesia masih belum memiliki Undang-Undang Anti-Bullying yang komprehensif. Dikatakannya, unsur-unsur perundungan sudah diatur dalam sejumlah regulasi.
Seperti UU Perlindungan Anak (Pasal 76C, 76D, 80, 81), Permendikbud No. 46 Tahun 2023 dan KUHP (UU 1/2023). Namun, Prof. Nurini menekankan perlunya aturan yang lebih terpadu.
Dian menambahkan Undang Undang Perlindungan Anak memposisikan bullying sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Sehingga fokusnya adalah perlindungan korban, pemulihan psikologis, dan pertanggungjawaban pelaku di bawah umur.
“Di sini, bullying dapat dipidana meskipun tidak menimbulkan luka fisik, karena definisi kekerasan mencakup kekerasan psikis, perundungan sistematis, dan ancaman yang merusak tumbuh kembang anak,” kata Prof. Nurini.
Sementara itu, UU ITE hanya berlaku jika bullying terjadi di ruang digital. Misalnya melalui penyebaran penghinaan, ancaman, doxing atau konten yang merendahkan martabat korban. Pengaturannya lebih teknis dan menekankan bukti elektronik serta rekam jejak digital. Karena sifatnya sebagai lex specialis, UU ITE memberikan instrumen khusus untuk menangani cyberbullying yang tidak selalu dapat dijangkau KUHP maupun UU Perlindungan Anak.
“Karena itu, banyak akademisi dan praktisi menyarankan perlunya UU Anti-Bullying nasional, yang mengatur definisi, pencegahan, edukasi, sanksi administratif, mekanisme penanganan, hingga kewajiban sekolah dan orang tua,” katanya.
Selain dari penegakan hukum, Wakil Dekan II FH tersebut juga menyoroti bahwa peningkatan literasi masyarakat tentang modus kejahatan, serta penerapan teknologi keamanan berbasis komunitas (seperti panic button dan CCTV), sangat perlu dilakukan untuk mengurangi terjadinya kasus bullying.

Psikolog Universitas Brawijaya, Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi. (Foto: Istimewa)
Sementara itu, psikolog UB Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi, mengatakan. Maraknya bullying di sekolah dan kampus menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan belum sepenuhnya aman bagi perkembangan psikologis anak dan remaja.
Perilaku perundungan merupakan hasil gabungan faktor individu, keluarga, sekolah, layanan kesehatan mental, dan kebijakan publik yang bila tidak ditangani dapat berkembang menjadi trauma berat, bahkan pada kasus ekstrem memicu tindakan bunuh diri atau aksi balas dendam.
“Dari perspektif psikologi perkembangan, masa remaja adalah periode rentan karena mereka sedang membentuk identitas, sangat sensitif terhadap tekanan sosial, dan belum memiliki regulasi emosi yang matang, sehingga perundungan dapat meninggalkan dampak yang lebih dalam,” tutur Ulifa.
Oleh karena itu, menurut Ulifa penanganan terhadap kasus bullying harus dilakukan di dua level sekaligus yakni pertama, penanganan melalui pendekatan trauma-informed dan Psychological First Aid (PFA) dan kedua, intervensi sistemik yang mencegah kejadian berulang, termasuk kebijakan sekolah yang kuat, pendidikan karakter, serta penerapan program anti-bullying berbasis bukti.
“Penanganan bullying harus menyeluruh dan berbasis bukti. Korban perlu mendapatkan dukungan emosional, perlindungan, serta layanan psikologis untuk mencegah trauma berkepanjangan. Pelaku harus diberi konsekuensi yang jelas, namun juga pendampingan untuk membangun empati dan kemampuan mengelola emosi,” kata Ulifa.
Sekolah perlu menerapkan kebijakan anti-bullying, pengawasan area rawan, pelatihan guru, pendidikan empati, dan jalur pelaporan yang aman.
Program seperti Olweus Bullying Prevention Program (OBPP), KiVa Anti-Bullying Program, dan Social Emotional Learning (SEL) terbukti efektif menurunkan angka bullying bila diterapkan secara konsisten.
Selain itu, di tingkat masyarakat, penting membangun budaya tanpa kekerasan dan meningkatkan literasi kesehatan mental agar anak merasa aman untuk berbicara, melapor, dan meminta pertolongan ketika mengalami perundungan.
“OBPP menekankan aturan sekolah yang tegas dan pengawasan lingkungan, KiVa fokus pada pendidikan empati serta sistem pelaporan yang aman, sementara SEL membantu anak mengenali emosi, mengelola konflik, dan membangun hubungan sosial yang sehat,” jelas Ulifa. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




