MALANG POST – Sebuah insiden yang melibatkan figur publik sekaligus tokoh agama, menjadi sorotan tajam di media sosial dalam beberapa waktu terakhir. Video yang beredar luas di berbagai platform digital memperlihatkan seorang gus sedang mencium seorang anak kecil di atas panggung dalam sebuah acara publik.
Aksi ini dengan cepat memantik kritik keras dari warganet, yang menilai tindakan tersebut melanggar etika publik dan berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan, terutama dalam konteks perlindungan anak. Reaksi publik mencerminkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya batasan tubuh dan keselamatan anak di ruang publik.
Melihat fenomena tersebut, Dr. Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi., Psikolog, dosen psikologi Universitas Muhammadiyah malang (UMM) memberikan pandangannya. Ia menekankan pentingnya peran orang tua dan lingkungan dalam membentengi anak dari perilaku yang tidak diharapkan.
Menurut Zainul, langkah pertama yang wajib dilakukan orang tua adalah mengajarkan kepada anak-anak secara jelas mengenai batasan sentuhan (good touch dan bad touch). Selain itu juga menjelaskan bagian-bagian tubuh mana yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain. “Kita kenalkan bagian tubuh dengan nama yang benar,” ujarnya.
Wakil Dekan Fakultas Psikologi UMM itu juga menekankan pentingnya menghindari analogi atau perumpamaan. Hal itu dikarenakan anak kecil belum memiliki pemahaman kognitif yang memadai untuk membedakannya. Bagian-bagian tubuh yang tertutup, khususnya alat vital, adalah area yang harus diajarkan kepada anak sebagai area yang tidak boleh disentuh oleh orang lain.
Zainul menyarankan bahwa edukasi ini dapat dimulai sejak anak sudah bisa diajak berkomunikasi secara interaktif, kurang lebih pada usia 3 hingga 4 tahun. Metode pengajaran harus disesuaikan dengan dunia anak-anak, yaitu sambil bermain, saat mandi, atau ketika ganti baju, alih-alih menggunakan pendekatan formal layaknya kepada orang dewasa.
Lebih lanjut, psikolog ini menyoroti dampak negatif yang serius dari perlakuan tidak etis terhadap anak. Dampak utamanya adalah potensi trauma yang bisa terbawa hingga anak dewasa. Di era digital saat ini, risiko tersebut makin diperparah.
“Apalagi sekarang jamannya zaman medsos. Di direkam kemudian tersebar di dunia digital, bahkan sampai besar ia masih bis amenemukannya. Tentu ini bisa membuat traumanya semakin muncul,” tegasnya, menggarisbawahi bagaimana jejak digital dapat melanggengkan rasa sakit emosional.
Hal yang penting ia sampaikan tegas kepada orang tua dan pendidik adalah untuk meningkatkan kewaspadaan (vigilansi) terhadap lingkungan sekitar anak. Kewaspadaan harus ditujukan bahkan kepada orang-orang terdekat yang dikenal. “Jangan mudah percaya dan karena zaman sekarang kan memang harus hati-hati ya,” pesannya.
Menurutnya, anak kecil cenderung takut pada orang asing, tetapi justru lebih rentan terhadap orang-orang terdekat atau yang mereka kenal, yang lebih mudah masuk ke dunia mereka. Selain pengawasan interaksi tatap muka, ia juga mengingatkan tentang bahaya dunia digital. Orang tua diimbau untuk membatasi pemberian perangkat seluler, mengingat sifat anak yang cenderung meniru apa yang mereka lihat dan dengar.
“Tidak semua konten yang ada di medsos atau yang ada di smartphone kan baik. Ada buruknya juga. Apalagi sifat anak itu kan memang suka menirukan,” tutup Zainul, menekankan bahwa kewaspadaan digital adalah bagian integral dari perlindungan anak di masa kini. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




