MALANG POST – Pemkot Batu mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Pelindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Langkah ini diambil sebagai respons atas tren peningkatan kasus kekerasan yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir, sekaligus untuk memperbarui regulasi lama yang dinilai sudah tidak lagi relevan.
Wali Kota Batu, Nurochman menekankan, bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sesuai dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
“Negara, dalam hal ini pemerintah, bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan menjamin hak asasi setiap warga negara, termasuk perempuan dan anak,” ujarnya,” papar Cak Nur, Minggu (16/11/2025).
Ia menjelaskan, perlindungan khusus diperlukan karena dampak kekerasan tidak mudah hilang dan dapat menimbulkan trauma berkepanjangan. “Kekerasan tidak hanya terjadi di ruang publik, tapi juga di ruang privat. Karena itu, perlu ada perlakuan khusus dan tindakan afirmatif dari pemerintah daerah dan pihak terkait,” tegasnya.
Upaya pencegahan, menurutnya, memerlukan kewajiban bersama secara holistik dari orang tua, keluarga, masyarakat, hingga sektor swasta. Pelayanan masyarakat diharapkan menjadi garda terdepan dalam menghadapi potensi kekerasan.
Keprihatinan Pemkot Batu bukannya tanpa alasan. Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Batu yang tercatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI) Kementerian PPPA, menunjukkan grafik yang fluktuatif namun cenderung meningkat drastis dalam dua tahun terakhir.\

PERBARUI PERDA: Wali Kota Batu Nurochman saat menyapa perempuan dan anak Kota Batu, saat ini pihaknya tengah menyusun Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Rinciannya tahun 2020 ada 15 kasus dengan 15 korban, tahun 2021 ada 55 kasus dengan 55 korban, tahun 2022 ada 32 kasus dengan 24 korban, tahun 2023 ada 65 kasus dengan 33 korban, tahun 2024 ada 84 kasus dengan 41 korban dan tahun 2025 per 31 Oktober ada 51 kasus dengan 20 korban.
Lonjakan signifikan dari 32 kasus pada 2022 menjadi 65 kasus pada 2023, kemudian 84 kasus pada 2024, menjadi alarm yang serius. Data hingga Oktober 2025 yang sudah mencapai 51 kasus menunjukkan urgensi penanganan yang komprehensif.
“Berdasarkan data ini, kita bersama-sama jajaran SKPD dan legislatif perlu membangun kerja sama secara masif melalui kegiatan yang meminimalisir persoalan, dengan memanfaatkan anggaran yang tersedia. Kita harus bersungguh-sungguh melaksanakan kegiatan yang berguna untuk membangun karakter anak muda,” paparnya.
Regulasi yang selama ini menjadi payung hukum, yakni Perda Kota Batu Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pergantian dengan perda yang baru dianggap suatu keharusan.
Raperda baru dirancang dengan beberapa tujuan utama. Diantaranya, menjamin pemenuhan hak-hak perempuan dan anak sesuai peraturan perundang-undangan, mencegah dan melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan.
Kemudian mendorong peran serta masyarakat dalam melaksanakan kewajibannya untuk mencegah dan melindungi korban. Serta memulihkan korban dari dampak kekerasan yang dialami.
Upaya pemulihan ini direncanakan mencakup rehabilitasi sosial, reunifikasi dengan keluarga atau lingkungan, serta peningkatan pemberdayaan bagi anak-anak korban.
“Dengan adanya Raperda ini, Pemkot Batu berharap dapat menciptakan kepastian hukum dan sistem perlindungan yang lebih efektif bagi perempuan dan anak. Sehingga mampu menekan angka kekerasan dan memutus mata rantai trauma yang dialami korban,” tutup Cak Nur. (Ananto Wibowo)




