Pelepasan oleh WR III Universitas Brawijaya. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) melaksanakan program Mega Ekspedisi Brawijaya (MEB) 2025 terletak di Desa Bari, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa ini berada dalam kabupaten yang sama dengan destinasi wisata internasional Labuan Bajo.
Meskipun dekat dengan pusat wisata kelas dunia, Desa Bari masih menghadapi keterbatasan dalam akses listrik, air bersih, hingga jaringan internet. Ketimpangan pembangunan ini menjadi alasan untuk memilih Desa Bari sebagai lokasi ekspedisi.
Ketua Pelaksana Mega Ekspedisi Brawijaya 2025, Muhammad Alif Al Banna Amzar, menjelaskan bahwa kehadiran MEB merupakan upaya untuk membuka ruang dalam memperjuangkan hak pembangunan bagi desa-desa yang belum mendapatkan perhatian. Menurutnya, terdapat perbedaan yang sangat kontras antara pusat wisata dan daerah sekitar yang belum tersentuh.
“Kami menemukan ketimpangan yang sangat besar antara pusat wisata dan desa. Mega Ekspedisi ini hadir untuk menghadirkan perhatian, suara, dan ruang yang mungkin selama ini belum diberikan kepada desa-desa seperti Bari,” kata Alif.

Mengajar Literasi. (Foto: Istimewa)
Program ini terlaksana pada (12/9-22/9/2025) dan diikuti oleh 17 ekspeditor.
Sebanyak 12 mahasiswa berasal dari Universitas Brawijaya, empat mahasiswa dari Universitas Negeri Timur, dan 1 mahasiswa dari Politeknik eLBajo Commodus. Pelaksanaan ekspedisi turut didampingi oleh Zaki Alif Ramadhani, selaku dosen Program Studi Pariwisata Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, yang memastikan arah kegiatan tetap relevan dengan kebutuhan desa dan berkelanjutan.
Seluruh aktivitas program didasari oleh hasil pemetaan kebutuhan warga dan diskusi bersama pemerintah desa. Mega Ekspedisi Brawijaya 2025 memusatkan perhatian pada pembangunan desa secara berkelanjutan melalui penyusunan Dokumen Masterplan Pembangunan Desa Bari untuk 15–20 tahun ke depan.
Masterplan ini menjadi dokumen resmi pemerintah desa yang memuat arah, strategi, dan prioritas pembangunan jangka panjang. Alif menegaskan bahwa dokumen tersebut tidak disusun berdasarkan asumsi tim, melainkan berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat.
“Dokumen ini bukan dibuat berdasarkan asumsi tim, tetapi dari kebutuhan warga langsung. Kami turun, mendengar, mencatat, dan menyusun bersama,” ungkapnya.

Malam Perpisahan dengan Warga. (Foto: Istimewa)
Selama pelaksanaan program, keterbatasan listrik dan jaringan internet menjadi tantangan utama. Komunikasi dan koordinasi dilakukan secara langsung dari rumah ke rumah warga, bahkan rapat tim pun berlangsung tanpa dukungan perangkat digital. Alif menilai bahwa kondisi tersebut justru membuat tim belajar dari ketidaknyamanan. Kedekatan dan sensitivitas sosial terbangun karena ekspeditor benar-benar bersentuhan dengan kehidupan masyarakat secara langsung.
Pasca kegiatan pengabdian, Alif turut menyampaikan pesan untuk mahasiswa UB agar kebermanfaatan ilmu tidak berhenti pada tugas kuliah atau ruang kelas. Ia menegaskan bahwa pengabdian adalah cara pandang hidup, bukan hanya kegiatan seremonial.
“Kalau bisa ada waktu, ada tenaga lebih, dan juga ada hati yang mau dikeluarkan, alokasikanlah untuk pengabdian. Sedikit mengulurkan tangan untuk saudara-saudara kita. Salah satu wadahnya adalah melalui Mega Ekspedisi Brawijaya 2025 dan seterusnya,” tutupnya.
Melalui Mega Ekspedisi Brawijaya, UB kembali menegaskan bahwa pendidikan tinggi bukan hanya tentang menghasilkan lulusan, tetapi tentang melahirkan agen perubahan yang menghadirkan dampak nyata bagi masyarakat. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)




