
MALANG POST – Malam di halaman Balai Kota Among Tani terasa berbeda, Jumat (17/10/2025) itu. Angin lembut berembus, cahaya rembulan menimpa layar putih, gamelan berpadu dengan sinden dan dalang mulai menancapkan cempuritnya.
Kota Batu merayakan ulang tahunnya yang ke-24 bukan hanya dengan pesta dan upacara, tapi juga dengan sesuatu yang lebih berharga, yakni pagelaran wayang kulit dengan lakon Wahyu Makutharama.
Dua dalang kondang asal Tulungagung, Ki Minto Darsono dan Ki Thatit Kusuma Wibhatsu, memimpin jalannya pertunjukan semalam suntuk itu.
Dinas Pariwisata (Disparta) Kota Batu menggandeng mereka untuk menghidupkan kembali tradisi luhur yang makin jarang tampil di tengah hiruk pikuk dunia digital. Lengkap dengan campursari Sekar Gadung serta bintang tamu Jo Klithik dan Jo Kluthuk.
Pentas dimulai dengan prosesi penyerahan gunungan dari Wali Kota Batu, Nurochman kepada dalang. Gunungan itu bukan sekadar simbol pembuka pertunjukan, tapi juga penanda doa dan harapan, semoga wahyu kepemimpinan senantiasa menaungi Kota Batu.
“Lakon yang dibawakan malam ini adalah Wahyu Makutharama, menceritakan tentang wahyu ratu – wahyu kepemimpinan sejati. Cerita ini mengajarkan makna luhur tentang bagaimana seorang pemimpin harus bersikap, dengan laku yang disebut Hastha Brata,” jelas Kepala Disparta Kota Batu, Onny Ardianto.
Lakon Wahyu Makutharama mengisahkan turunnya cahaya suci dari kahyangan—wahyu keprabon, penanda kepemimpinan sejati. Wahyu itu menjadi rebutan para ksatria besar dengan kekuatan dan ambisi.
Namun Arjuna datang dengan cara berbeda. Ia tidak membawa pasukan, tidak berteriak menuntut kuasa. Ia hanya datang dengan hati yang hening dan laku tapa di hutan Tepasana. Dalam diam, ia menaklukkan egonya sendiri.
Ketika sinar wahyu itu akhirnya turun, benderang menyilaukan dan mengguncang bumi, satu per satu para ksatria gagal meraihnya. Mereka terbakar oleh ambisi dan keserakahan sendiri.
Hanya Arjuna yang tetap bersila tenang, memejamkan mata, membiarkan sinar suci itu menyatu ke dalam dirinya. Saat itulah para dewa turun dan menegaskan, wahyu sejati hanya akan datang kepada mereka yang mampu menundukkan diri.
Dari peristiwa itu, Batara Kresna memberikan wejangan abadi Hastha Brata, delapan laku kepemimpinan yang menjadi dasar moral seorang raja.

GUNUNGAN WAYANG: Wali Kota Batu, Nurochman saat menyerahkan gunungan wayang kepada dalang, menandai dimulainya pagelaran wayang kulit dang lakon Wahyu Makutharama. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Pemimpin harus seperti matahari yang memberi kehidupan tanpa pilih kasih, seperti bulan yang meneduhkan di tengah gelap, seperti samudra yang luas hati menampung segalanya dan seperti gunung yang teguh menjadi sandaran rakyatnya.
Ia juga harus seperti api yang tegas menegakkan kebenaran, angin yang hadir di mana-mana tanpa terlihat, bumi yang tetap subur meski terus diinjak dan mendung yang dinamis, mampu menyerap masukan sebelum menurunkan hujan kebijakan.
“Delapan sifat itulah yang disebut Hastha Brata, dari kata hastha berarti delapan dan brata berarti laku. Maknanya masih sangat relevan bagi siapa pun yang diberi amanah memimpin,” tuturnya.
Lakon Wahyu Makutharama bukan sekadar kisah perang atau perebutan kuasa. Ia adalah cermin kehidupan bahwa kepemimpinan sejati tidak lahir dari garis darah, jabatan, atau kekuatan senjata, tetapi dari ketulusan hati dan pengendalian diri.
“Melalui pagelaran ini, kami ingin mengajak masyarakat menikmati kesenian sekaligus belajar dari nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya,” tambah Onny.
Disparta sengaja menempatkan pertunjukan wayang dalam rangkaian HUT ke-24 Kota Batu sebagai bentuk kolaborasi budaya dan promosi wisata. Wayang tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan, cara lembut menanamkan nilai luhur dalam kemasan hiburan yang memikat.
Wali Kota Batu Nurochman menilai, lakon Wahyu Makutharama bukan sekadar cerita wayang, tapi juga cermin perjalanan kepemimpinan di dunia nyata.
“Kepemimpinan sejati lahir dari kesabaran dan pengendalian diri, bukan dari keinginan untuk berkuasa. Lakon ini mengajarkan kita bahwa pemimpin harus lebih dulu menaklukkan dirinya sendiri sebelum menuntun orang lain,” ujarnya.
Cak Nur sapaan akrabnya, juga menyebut bahwa pesan Hastha Brata yang terkandung dalam lakon itu bisa menjadi pegangan moral bagi siapa pun yang memiliki tanggung jawab publik. “Pemimpin harus seperti alam, memberi manfaat tanpa pamrih, meneduhkan dan membuka ruang dialog. Delapan sifat Hastha Brata itu sebenarnya panduan yang relevan untuk semua pemimpin zaman sekarang,” imbuhnya.
Lebih jauh, Cak Nur juga menekankan bahwa digelarnya pagelaran wayang kulit bukan sekadar hiburan, tetapi bagian dari upaya menjaga kebudayaan sekaligus memperkuat identitas Kota Batu sebagai kota wisata berjiwa budaya.
“Wayang adalah warisan leluhur yang menyatukan nilai, seni dan falsafah hidup. Melalui pementasan seperti ini, kita ingin menanamkan lagi semangat kearifan lokal di tengah masyarakat, agar pembangunan kita tidak kehilangan ruhnya,” tandasnya. (Adv/Ananto Wibowo)