
MALANG POST – Kabar baik datang dari bidang kesehatan di Kota Batu. Dinas Kesehatan (Dinkes) mencatat hanya ada satu kasus kematian Orang dengan HIV (ODHIV) pada periode Januari hingga Agustus 2025. Angka ini jauh menurun dibanding periode yang sama pada tahun 2024, yang mencapai empat kasus kematian.
Kabid Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penanganan Kebencanaan Dinkes Kota Batu, dr. Susana Indahwati menyebutkan, capaian tersebut tidak lepas dari penguatan program Antiretroviral Therapy (ART), edukasi kesehatan dan pendampingan intensif terhadap ODHIV.
“Konsistensi pasien dalam menjalani terapi ART menjadi kunci keberhasilan menekan angka kematian,” ungkapnya, Rabu (24/9/2025).
Berdasarkan data Dinkes, sepanjang tahun 2024 ditemukan 95 kasus HIV di Kota Batu. Sedangkan pada Januari–Juli 2025, sudah ditemukan 42 kasus baru. Meski masih ada temuan, Susan menegaskan tren kematian pasien menurun seiring meningkatnya kepatuhan minum obat serta pendampingan tenaga kesehatan.
Dinkes juga memperluas program pencegahan. Mulai dari sosialisasi kesehatan reproduksi, penyuluhan di sekolah dan perguruan tinggi, hingga memperkuat layanan konseling dan tes HIV di puskesmas.
“Program Voluntary Counseling and Testing (VCT) terus kita dorong agar masyarakat tidak ragu memeriksakan diri sejak dini,” imbuhnya.
Selain pengobatan, tantangan terbesar adalah stigma. Masih banyak masyarakat yang mengidentikkan HIV dengan aib. Kondisi itu, menurut Susan, justru berbahaya karena bisa membuat pasien malu, menutup diri, bahkan putus obat.
“Padahal kesadaran untuk tes dan pengobatan sangat penting agar pasien bisa hidup sehat dan produktif,” tegasnya.

DINKES: Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu, dr Susana Indahwati. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Dinkes secara rutin memberikan edukasi agar masyarakat lebih memahami HIV. Virus ini memang menular melalui darah, cairan sperma, cairan vagina, atau ASI, tapi sama sekali tidak menular lewat kontak sosial biasa.
Di sisi lain, Susan juga menanggapi stigma masyarakat terkait pemulasaran jenazah penderita HIV. Masih ada anggapan bahwa jenazah dengan HIV berbahaya dan tidak boleh disentuh.
“Prosedur pemulasaran dilakukan dengan protokol ketat untuk mencegah risiko penularan. Meski potensi penularan dari jenazah sangat kecil, bahkan mendekati nol, langkah antisipasi tetap dijalankan,” jelasnya.
Virus HIV sendiri tidak bisa bertahan lama di luar tubuh. Risiko hanya muncul bila ada kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh segar pada luka terbuka. Karena itu, seluruh petugas wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap.
Prosedur standar yang diterapkan mencakup pembersihan dan disinfeksi tubuh jenazah, penutupan rapat bagian tubuh yang mengeluarkan cairan, serta pembungkusan berlapis dengan kain kafan atau plastik kedap air. Limbah medis seperti air bekas pemandian dan APD sekali pakai juga wajib dimusnahkan setelah didesinfeksi.
Libatkan Keluarga
Meski dengan prosedur ketat, Dinkes tetap memberi ruang bagi keluarga untuk terlibat dalam proses pemulasaran. Mulai dari memandikan, mengkafani, hingga menguburkan. Bahkan mudin desa/kelurahan sudah dilatih agar bisa mendampingi proses tersebut.
“Edukasi masyarakat penting untuk menghapus stigma. Risiko penularan sangat rendah jika prosedur benar-benar dijalankan. Kami juga rutin memberikan pelatihan kepada petugas pemulasaran jenazah, minimal satu kali dalam setahun,” tutup Susan. (Ananto Wibowo/