
MENGADU: Suasana rapat dengar pendapat umum (RDPU) di ruang Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Warga Desa Landungsari Kecamatan Dau, merasa resah lantaran jalan setapak menuju sawah yang sejak lama menjadi urat nadi penghidupan, kini tertutup tembok beton perumahan.
Persoalan itupun membuat warga mengaku ke Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Malang.
Segala keresahan yang dialami tersebut, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Ruang Fraksi PDI Perjuangan, Rabu (17/9/2025).
Pada RDPU itu, petani berkeluh kesah karena kehilangan akses menuju sawah. Menurut mereka, jalan yang sejak puluhan tahun menjadi urat nadi petani kini lenyap. Diganti dinding beton yang memisahkan warga dengan lahan penghidupannya.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan Kabupaten Malang, Abdul Qodir, mempertanyakan nurani pengembang perumahan yang tega memutus akses petani itu.
“Ini bukan sekadar soal tanah, tapi soal kemanusiaan.”
“Bagaimana mungkin petani, penjaga pangan bangsa, harus berhadapan dengan tembok untuk sekadar menanam dan memanen,” tanya pria yang akrab disapa Adeng ini, ketika dikonfirmasi setelah menerima puluhan warga Landungsari.
Ditegaskan Adeng, pemerintah tidak boleh menutup mata dalam hal ini. Fraksi PDI Perjuangan pun meminta kepada Pemkab Malang, supaya hadir bukan hanya untuk mendukung pembangunan fisik, tetapi juga untuk melindungi hak rakyat atas akses hidupnya.
Menutup jalan menuju sawah, lanjutnya, sama artinya dengan memutus urat nadi ketahanan pangan di tingkat paling dasar.
“Maka atas nama kepentingan umum dan pertimbangan kemanusiaan, kami mendorong Pemkab Malang harus segera mengambil langkah konkret.”
“Mereka harus melakukan mediasi antara pengembang perumahan dan masyarakat, untuk membuka kembali akses jalan.”
“Jangan biarkan saudara-saudara kita kehilangan ruang untuk menanam harapan,” tegasnya.
Diungkapkan anggota dewan dari Kecamatan Dau ini, menetapkan jalan alternatif resmi yang layak dan manusiawi bagi petani, bukan sekadar jalur darurat.
Termasuk, di dalamnya membuat regulasi perlindungan akses publik. Agar kasus serupa tidak terulang dan hak masyarakat desa tetap terjamin.
Selanjutnya, kata Adeng, pembangunan tidak boleh berdiri di atas penderitaan rakyat kecil.
Perumahan mungkin membangun gedung, tetapi petani membangun kehidupan.
Pemerintah wajib hadir memastikan keduanya berjalan beriringan, dengan menempatkan kepentingan kemanusiaan sebagai dasar kebijakan.
Karena tanpa sawah, tanpa petani, apa arti pembangunan itu sendiri.
“Ini bukan sekadar jalan tanah, tapi jalan kehidupan mereka,” tuturnya dengan nada getir.
“Kalau akses ke sawah mereka ditutup, bagaimana saudara-saudara kita di Landungsari bisa memberi makan keluarga dan menjaga desa, sebab idealnya pembangunan sejati bukan tentang tingginya tembok dan megahnya bangunan.”
“Pembangunan sejati adalah ketika rakyat kecil tetap bisa melangkah ke sawahnya tanpa hambatan, ketika petani tidak tercerabut dari tanah penghidupannya,” Adeng mengakhiri. (*/Ra Indrata)