
MALANG POST – Meningkatnya kasus diabetes di Indonesia membawa tantangan besar, salah satunya adalah penanganan luka kronis yang sulit sembuh. Di tengah permasalahan tersebut, sekelompok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hadir dengan inovasi menjanjikan.
Melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), mereka menciptakan alat bernama CryoSynctive: Perangkat Nonthermal Plasma Berbasis Edge AI dan IoT untuk Penyembuhan Luka Kronis pada Pasien Diabetes.
CryoSynctive merupakan prototipe alat kesehatan dari PKM-KC (Karya Cipta) yang dikembangkan oleh mahasiswa UMM. Ide ini dicetuskan oleh Fikri Yuda Pranata bersama tim beranggotakan lima orang dengan latar belakang beragam tiga mahasiswa teknik mesin, satu fisioterapi, dan satu biologi.
Mereka dibimbing oleh dosen Andinusa Rahmandhika, S.T., M.Eng. yang berperan aktif memberikan arahan teknis, memperkuat metodologi, sekaligus memastikan rancangan alat sesuai standar keamanan medis.
“Kami melihat ada celah di mana terapi luka yang ada saat ini seringkali kurang efisien dan mahal. Maka, kami mencoba menggabungkan metode terapi plasma yang sudah ada dengan teknologi terkini untuk menciptakan solusi yang lebih baik,” jelas Fikri.
Cara kerja CryoSynctive dirancang agar mudah digunakan. Prinsip dasarnya seperti printer. Jadi, tangan atau kaki pasien yang luka dimasukkan ke dalam alat tersebut, lalu alat akan secara otomatis memetakan titik-titik luka yang ada.

Proses ini dimulai dengan kamera termal yang memindai dan memetakan koordinat luka. Data tersebut kemudian dianalisis oleh sistem Edge AI di dalam alat. Setelah luka terpetakan, perangkat akan bergerak secara otomatis ke posisi luka dan menyinari area tersebut dengan Nonthermal Plasma.
Nonthermal plasma bekerja dengan menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS). Molekul-molekul reaktif ini berfungsi ganda yaitu membasmi bakteri dan mikroorganisme patogen, serta merangsang pertumbuhan sel-sel baru dan perbaikan jaringan. Proses ini juga disesuaikan dengan kedalaman luka pasien yang bervariasi.
“Kami sudah membuat sistemnya semi-otomatis, jadi jika pasien tiba-tiba bergerak, alatnya akan berhenti secara mandiri untuk menjaga keamanan,” kata Fikri.
Saat ini, CryoSynctive sudah mencapai sekitar 60% penyelesaian dengan fokus pada perakitan dan pemrograman. Tim juga merencanakan tahap uji coba terbatas sebelum pengembangan menuju tahap klinis. Harapannya, alat ini tidak hanya menjadi karya inovasi mahasiswa, tetapi juga bisa dipatenkan dan dikembangkan lebih lanjut sebagai produk medis yang dapat digunakan di rumah sakit maupun klinik.
Keunggulan utama CryoSynctive terletak pada integrasi Nonthermal Plasma dengan teknologi terkini. Terapi plasma ini masih jarang digunakan di Indonesia karena sebagian besar penelitian baru sebatas laboratorium. Dibandingkan dengan terapi vakum atau ozon yang lebih umum, CryoSynctive menghadirkan pendekatan berbeda yang lebih cepat dan akurat.
Selain itu, integrasi Edge AI dan IoT membuat alat ini lebih unggul. AI memberikan analisis luka yang presisi, sementara IoT memungkinkan data terapi tersimpan otomatis dan dikirim ke dashboard tenaga medis. Dengan begitu, dokter dapat memantau perkembangan pasien secara jarak jauh, melihat riwayat terapi digital, dan menerima notifikasi real-time jika terjadi anomali. Fitur ini juga membuka peluang pengembangan telemedicine yang semakin relevan di era digital.
“Saya berharap alat ini bisa membuka peluang terapi baru yang lebih efektif dan efisien, serta membantu meringankan beban pasien maupun tenaga medis. CryoSynctive dirancang untuk mempermudah, bukan menggantikan, peran tenaga medis,” tegasnya. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)