Surabaya – Jatim semaikin memiliki daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya. Salah satu faktor pendukung adalah Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) Jatim yang rendah.
Hal ini diungkapkan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. “Kita memiliki ICOR yang selalu lebih rendah (5,27) dibanding ICOR rata-rata nasional (6,81), dan beberapa daerah lain seperti DKI Jakarta (7,57), Banten (5,81),serta Jateng (5,83). Ini menunjukkan bahwa berinvestasi di Jatim lebih efisien dibanding daerah lain,” kata Khofifah usai rakor virtual bidang investasi di Surabaya.
Dikutip dari Pers Rilis Humas Pemprov Jatim, Minggu (24/1), ICOR merupakan parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi kapital terhadap hasil yang diperoleh dengan menggunakan investasi itu. Besaran ICOR adalah proxy efisiensi sebuah perekonomian. Semakin rendah nilai ICOR, maka mengindikasikan semakin tinggi produktivitas kapital.
Lebih jauh guberur menjelaskan, pada tahun 2019, ICOR Jatim sebesar 5,25. Sedang rata-rata nasional 6,87. “Untuk meningkatkan satu unit output di Jatim, diperlukan investasi fisik sebesar 5,25. Jelas Jatim menawarkan efisiensi yang lebih tinggi, sekaligus menjanjikan imbal balik yang lebih menguntungkan,” lajut Khofifah.
Dalam rentang lima tahun terakhir, realisasi investasi Jatim mengalami dinamika. Khusus pada dua tahun terakhir sejak Jatim dipimpin Gubernur Khofifah, realisasi investasi terus terdongkrak naik, setelah dua tahun sebelumnya mengalami perlambatan.
Bahkan, pada periode Januari sampai September 2020, realisasi investasi Jatim telah melampaui capaian tahun sebelumnya. Yakni, sebesar Rp 66,5 triliun. Sedang di tahun 2019 sebesar Rp 58,4 triliun. “Dari sisi pertumbuhan, total investasi Jatim naik 42,1 persen. Ini yang tertinggi di Jawa, yang sebagian besar justru tumbuh negatif,” jelas Khofifah.
Secara komposisi, investasi Jatim terutama ditopang oleh Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Diakui Gubernur Khofifah, PMDN memang menjadi backbone investasi di Jatim. “Realisasi PMDN kita selalu yang tertinggi dibanding provinsi-provinsi lain,” imbuhnya.
Pada periode Januari-September 2020, tiga sektor unggulan PMDN di Jatim meliputi sektor Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi (Rp 23,34 triliun), sektor Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran (Rp. 4,37 triliun), dan sektor Industri Makanan (Rp. 3,68 triliun) yang tersebar di lokasi wilayah seperti Kota Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Probolinggo, serta beberapa lokasi lainnya.
Sebagai informasi tambahan, pada tahun 2018 Asia Competitiveness Institute — Lee Kuan Yew School of Public Policy (Singapura)– merilis hasil riset yang menempatkan Jatim sebagai provinsi terbaik pertama dalam aspek tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia. Sedang pada aspek daya saing provinsi, Jatim menduduki peringkat kedua setelah DKI Jakarta.
Dari sisi regulasi, Jatim juga sedang berbenah. Berseiring dengan spirit peningkatan kemudahan berusaha melalui penyederhanaan perizinan yang dikandung oleh UU Cipta Kerja, Gubernur Jatim telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) No 69 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
“Melalui Pergub ini, kita ingin memastikan pelayanan perizinan yang mengedepankan transparansi, kepastian waktu, bebas korupsi, serta mengutamakan kepuasan pemohon izin. Sekarang kalau pelaku usaha mengurus izin di Jatim akan semakin mudah, cukup dengan online, melalui aplikasi JOSS (Jatim Online Single Submission),” terangnya.
JOSS merupakan inovasi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Provinsi Jatim. JOSS melayani 18 sektor perizinan serta terintegrasi dengan aplikasi Helpdesk yang memberikan layanan konsultasi dan pengaduan pemohon izin.(azt/ekn)