
Dahlan Iskan bersama drh Yudi dalam sebuah kesempatan.--
Oleh: Dahlan Iskan
Saya sedang menduga-duga: tuduhan apa yang akan dikenakan pada dokter hewan Yuda, dosen UGM dari Magelang, yang sekarang jadi tersangka itu.
Dokter palsu? Dokter hewan yang praktik sebagai dokter manusia? Dokter hewan jualan obat untuk manusia? Bikin obat terlarang? Tidak punya izin penjualan obat?
Sebagai dokter palsu rasanya tidak. Ia tidak pernah mengaku sebagai dokter. Ia selalu menegaskan dirinya dokter hewan. Bahkan ia bangga sebagai dokter hewannya. Lebih bangga lagi karena ia dokter hewan yang menjadi ilmuwan terpilih. Ia berkembang menjadi peneliti steam cell. Sampai terpilih tergabung dalam tim ilmuwan Korea Selatan yang mengkloning kambing –dan berhasil.
Sebagai ilmuwan cell yang serius drh Yuda tahu cara membuat skretum. Memproduksinya. Lalu menjualnya. Saya dan istri adalah salah satu konsumennya.
Anda bisa cari tahu di Google. Atau ke ChatGPT. Apa itu skretum. Apa bedanya dengan stemcell. Siapa tahu Anda pun akan jadi ilmuwan yang bisa mengalahkan drh Yuda –bukan hanya bisa mempersoalkannya.
Kalau drh Yuda akan dikenakan pasal memperdagangkan obat tanpa persetujuan BPOM, apakah yang dijual drh Yuda itu obat? Apakah skretum itu obat?
Awalnya saya berharap UGM menyelenggarakan diskusi ilmiah soal skretum. Utamanya: mencarikan jalan keluar agar penemuan ilmiah seperti itu tidak berbenturan dengan peraturan. Tapi kemarin sore seorang dosen mengirim ke saya siaran pers UGM –kesan saya UGM pilih tidak mau tahu atas perkara itu. Normatif sekali.
Saya mencoba bertanya ke seorang profesor. Dia guru besar farmasi. Senior sekali. Pertanyaan saya: apakah vitamin itu obat?
Jawabnyi tegas: bukan obat.
Lalu saya ingatkan bunyi UU No 36. Di situ disebutkan, apa pun yang punya khasiat tergolong obat!
Sang guru besar menjawab: Pak, vitamin itu tidak untuk mendiagnosis, mengobati, dan mencegah penyakit.
Saya ikut saja pendapatnyi. Saya tidak mampu mendebatnyi. Saya bukan farmasis. Bukan ilmuwan.
Saya memang tidak berterus terang padanyi; bahwa pertanyaan tentang ”apakah vitamin itu obat” akan saya kaitkan dengan skretum yang diproduksi dan dijual drh Yuda. Saya ingin mendapat jawaban paling murni ”apakah vitamin” bisa digolongkan obat –tanpa terpengaruh kejadian yang lagi mencuat. Bagi saya cukup: vitamin bukan obat. Saya juga ingin menyatakan: skretum juga bukan obat.
Tentu saya juga bertanya pada drh Indro Cahyono –sahabat Disway yang akrab dengan Anda. Ia punya pengalaman banyak sebagai dokter hewan yang sering dipojokkan akibat kehewanannya itu. Terutama di masa Covid dulu. Drh Indro juga dokter hewan yang jadi ilmuwan ”independen” yang mobilnya hanya Ayla.
Pertanyaan saya kepada drh Indro sama: apakah vitamin termasuk obat. Jawabnya sama: bukan!
“Vitamin, termasuk antioksidan, ada di bahan-bahan makanan alami. Vit A, C, E ada di buah dan sayur. Vit B ada di kacang dan daging. Vit D ada di susu dan produk asal susu,” ujar Indro.
Tentu skretum yang diproduksi drh Yuda bukan datang dari susu atau sayur. Tapi juga bukan dibuat dari bahan kimia. Skretum itu bukan ini dan bukan itu. Skretum punya kategori sendiri yang di zaman lama kategori itu tidak dikenal. Maka skretum punya kategori sendiri: produk biologi.
Apakah produk biologi itu obat?
“Produk biologi bisa apa saja. Yakni semua yang menggunakan bahan dasar bahan biologis (organik). Termasuk vaksin itu dari virus utuh. Juga protein skretum,” ujar drh Indro
Itu yang membedakan dengan obat yang dibuat dari bahan kimia. “Produk kimia sintetis tidak menggunakan bahan biologis (organik),” katanya.
Lalu saya ingatkan: dalam UU 36 cakupan yang disebut obat itu sangat luas. Lebih luas dari sejuta daun kelor dijahit jadi satu. Penguasa akan bisa menggunakan pasal di dalamnya. Petugas hukum juga bisa mengenakan UU 36 kepada drh Yuda.
Di UU itu produk biologi juga dikategorikan sebagai obat.
“Memang tujuannya untuk menjerat itu Pak. Semua aturan penelitian dibuat agar akses rakyat untuk belajar terbatas. Sejak dulu,” ujar drh Indro.
Saya pun coba-coba hubungi drh Yuda. Siapa tahu, di tahanan, ia bisa punya akses WA. Ternyata drh Yuda tidak ditahan. Ia memang tersangka tapi statusnya tahanan kota.
Saya pun bertanya kepadanya: mengapa tidak urus saja izin-izinnya? Agar legal. Sesekali ilmuwan berhenti memutar otak untuk mengerjakan pekerjaan administrasi birokrasi.
“Justru saat ditembak itu kami sedang mengurus izin produksi dan bikin lab sesuai arahan BPOM,” ujar drh Yuda. ”Ditembak” adalah istilah ketika ia dijadikan tersangka dan tempat skretumnya disegel.
Yuda pun mengirimkan copy berbagai dokumen pertanda ia sedang benar-benar mengurus perizinan. Ia juga sangat serius membangun fasilitas penelitian. “Bangunan sudah hampir 80 persen jadi,” katanya. “Peralatan clean room sudah datang dan siap dipasang,” tambahnya.
Semua itu mahal. Ilmuwan model Yuda tidak punya uang. Juga tidak punya handuk yang bisa diperas agar keluar uangnya. Ia harus cari biaya sendiri. Tidak minta pemerintah.
Saya terharu dengan ilmuwan yang ingin mandiri seperti ini. Kita tidak perlu membantu apa-apa. Pun pemerintah. Kecuali dukungan.
Berarti bahwa drh Yuda berjualan skretum selama ini adalah untuk cari modal. Demi membangun fasilitas penelitian dan pengembangan hasil penelitian. Demi kemajuan negara di bidangnya. Bukan cari uang dari rakyat untuk joget-joget. (*)