
Oleh: Dr. Lia Istifhama, M.E.I.
(Anggota Komite III DPD RI)
GEMA untuk “membangkitkan” Haluan Negara yang menjadi pedoman pembangunan di Indonesia semakin menggema. Paling baru, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai pengganti Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyeruak dalam Sidang Paripurna DPD RI, 19 Agustus 2025. Di mana, Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin, yang menyinggung keberadaan PPHN di tengah bahasan APBN oleh Komite IV.
Beberapa tahun sebelumnya, ketika Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo pada Sidang Tahunan MPR RI di Jakarta pada 16 Agustus 2021 menyebut PPHN akan menjaga rencana visioner Pemerintah dapat terlaksana meskipun pasangan presiden dan wakil presidennya berganti. Isu itu pun terus bergulir hingga saat ini.
Kenyataan ini menjadi penting sebagai bahasan penulis, Mengapa?
Karena dengan PPHN, diharapkan arah pembangunan menjadi lebih jelas. Tidak seperti sekarang ini. Di mana setiap pergantian rezim, juga berganti kebijakan. Ini cukup merugikan. Terutama bila dikaitkan dengan program efisiensi yang dicangkan Presiden Prabowo Subianto.
Seperti kita ketahui, pasca Amandemen UUD 1945, salah satu keputusan paling monumental adalah penghapusan GBHN. Ini berimplikasi kepada sistem presidensial yang dianut Indonesia, sehingga tidak lagi memerlukan haluan negara yang ditetapkan MPR. Ini, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Dengan kata lain, legitimasi program dan visi-misinya dapat dijalankan tanpa diikat ketetapan MPR. Kemudian problem yang kemudian muncul adalah ketidaksinambungan pembangunan. Di mana banyak proyek strategis berhenti di tengah jalan hanya karena pergantian rezim. Dari sinilah gagasan PPHN semakin mencuat di ranah publik.
Mari kita menoleh ke belakang. GBHN yang diterapkan pada masa Orde Baru telah dihapus pada tahun 2000. Sejak itu, pemerintahan menggunakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagai dasar pembangunan. Lalu, bahasa teknisnya dibuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJP berlaku selama 25 tahun dan RPJMN berlaku 5 tahun.
Pada kenyataannya, RPJP yang digunakan sekarang tidak cukup, karena titik beratnya ada di eksekutif dan menjadi personal presiden. Setiap ganti rezim, baik RPJP maupun RPJMN selalu berubah. Visi setiap pemerintahan selalu berubah-ubah.
Sebagai informasi, dalam RPJMN periode 2004 – 2009 (periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—SBY) memiliki visi “Mewujudkan Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara yang Aman, Bersatu, Rukun dan Damai”. Periode kedua (2009-2014) pemerintahan SBY visinya, “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan”.
Sementara periode 2014 – 2019 (periode pertama), pemerintah Joko Widodo mencanangkan visi “Terwujudnya Indonesia yang Beradulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Dilanjutnya pada periode kedua (2019-2024) yang mengusung visi “Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”.
Di era Presiden Prabowo Subianto (2024-2029) terbitlah Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029 pada tanggal 10 Februari 2025. RPJMN 2025-2029 ini merupakan implementasi tahap pertama Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045 sekaligus fondasi awal untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Di dalam RPJMN ini dituangkan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan visi Presiden periode 2025-2029, yaitu “Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045”. Langkah-langkah tersebut dikelompokkan ke dalam delapan prioritas nasional pembangunan jangka menengah, yang merupakan implementasi langsung dari delapan misi Presiden atau Asta Cita.
Pertanyaannya, lain pemerintahan, lain visinya. Dampak kepada pembangunan? Seperti dikatakan di atas setiap ganti pemerintah, visi yang diusung berbeda pula. Hal itu, berpengaruh buruk kepada pembangunan yang berkelanjutan.
Fakta menyebutkan, bagaimana berbagai megaproyek mangkarak karena pergantian pemerintahan. Sebut saja Megaproyek Hambalang. Proyek Hambalang dilaksanakan oleh Presiden SBY pada 2010. Dalam perencanaan, proyek itu bakal berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pelatihan olahraga bertaraf internasional.
Di atas tanah 35 hektare (ha), bakal ada bangunan sport sains, asrama atlet senior, lapangan menembak, ekstrem sport, panggung terbuka, hingga volley pasir. Untuk merealisasikan itu, pemerintah mengucurkan anggaran jumbo, yakni Rp 2,5 triliun. Dan sampai sekarang pun Megaproyek Hambalang mankrak.
Juga demikian dengan Megaproyek Jakarta Monorail yang direncanakan sebagai solusi untuk memecah masalah kemacetan di Jakarta yang dilakukan di era Presiden Megawati dan Gubernur Sutiyoso. Proyek ini bermula pada 2003 dilakukan peletakan batu pertama oleh Presiden Megawati. Dan akhirnya sampai sekarang, proyek ini hanya menyisakan tiang-tiang beton.
Ini hanya dua contoh saja, tidak sedikit proyek-proyek lain dengan nilai ratusan triliun mangkrak akibat perubahan pemerintahan yang diiringi berubahnya visinya.
Perlunya PPHN
Melihat kenyataan ini, tanpa GBHN, pemerintah tidak punya arah yang jelas dalam pembangunan. Setiap ganti presiden, arah kebijakan juga berganti. Ini jelas tidak efisien. Padahal, di awal tahun 2025 ini, Presiden Prabowo mengeluarkan instruksi yang berpotensi mengubah cara negara pemerintahan dalam mengelola anggaran. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 diterbitkan sebagai langkah konkret untuk memastikan efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD.
Karena itulah, salah satu langkah efisiensi itu, dengan “menghidupkan” kembali Haluan Negara, melalui PPHN. Dengan demikian, megaproyek-megaproyek tetap berjalan meski terjadi pergantian pemerintahan.
Terpenting, agar target-target jangka panjang, seperti kedaulatan pangan, kedaulatan energi hingga infrastruktur, tidak bisa satu presiden atau dua presiden, harus beberapa term oleh beberapa presiden. RPJP yang digunakan sekarang tidak cukup. Mengapa? Karena titik beratnya ada di eksekutif dan menjadi personal presiden.
Karena itu, muncul gagasan dan urgensi untuk menghidupkan kembali PPHN. Konsep PPHN ini berbeda dengan GBHN di masa lalu. Ini tidak dimaksudkan untuk mengulang kesalahan lama, di mana MPR punya kuasa penuh atas presiden.
Dalam sistem presidensial yang kita anut sekarang, presiden punya mandat langsung dari rakyat. Maka, PPHN harus berfungsi sebagai “pedoman strategis”, bukan sebagai “perintah mutlak” yang bisa mengintervensi atau bahkan membahayakan posisi presiden.
Di samping itu, sekarang terjadi kekosongan arah pembangunan jangka panjang pasca-amandemen UUD 1945.
Gantinya, presiden tidak lagi menerima mandat dari MPR, tetapi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Akibatnya, muncul kekosongan arah pembangunan jangka panjang yang terkordinasi, karena visi dan misi pembangunan berganti-ganti setiap periode pemilu, sehingga pembangunan kita terkesan fragmentasi dan tidak konsisten secara nasional arah pembangunan nasional ditentukan melalui RPJPN yang bersifat eksekutif-sentris.
Bertolak pada kenyataan inilah, pentingnya MPR melakukan kajian komprehensif mengenai PPHN. PPHN adalah prinsip-prinsip direktif kebangsaan yang menjadi jembatan antara nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan norma hukum positif dan kebijakan publik.
Landasan Hukum
Melihat ini semua, penulis selanjutnya berharap agar para stakeholder, termasuk di dalamnya akademisi hingga tokoh nasional secepatnya untuk duduk bersama untuk mencari jalan keluar. Bagaimana caranya PPHN, untuk selanjutnya menjadi Haluam Negara. Dalam soal ini, krusialnya kepastian hukum menjadi sangat penting. Tanpa landasan hukum yang kuat, PPHN berpotensi menimbulkan kebingungan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
Landasan hukumnya adalah persoalan mendasar. Rekomendasi MPR Nomor 3 Tahun 2024 masih bersifat belum mengikat. Karenanya, perlu dilakukan kajian mendalam, Baik dari sisi hukum maupun politik. Ini menjadi penting, karena dibalik upaya menghidupkan kembali arah pembangunan jangka panjang, ada kompleksitas politik.
Selain itu, perlu ada penguatan hubungan hukum PPHN dengan eksistensi dokumen RPJM dan RPJP. Dan ini memiliki relevansi kuat dengan positioning MPR. Selama ini, Ketetapan MPR terkait PPHN berupa produk administrasi (beschikking). Bukan produk regulasi, dan pasca Perubahan UUD NRI 1945 (khususnya Pasal 3), tidak ada lagi kewenangan MPR yang dituangkan dalam wujud peraturan (regelingen).
Padahal landasan formalnya tertuang dalam Keputusan MPR No. 3 Tahun 2024, yang menugaskan Badan Pengkajian MPR untuk menyusun rancangan PPHN, dibantu Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3). Jadi seharusnya penting sekali menempatkan PPHN dalam kerangka hukum tanpa mengulang masa lalu yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan kata lain tidak ada perubahan sistem presidensial, bahwa Presiden tetap dipilih oleh rakyat.
PPHN memiliki peran sentral pengikat kebijakan dan pembangunan berkelanjutan ketika pemerintahan berganti seiring dengan pesta demokrasi lima tahunan. Di sini pentingnya posisi Ketetapan MPR RI terkait PPHN.
Kalau kita bicara tentang wacana Pengaturan kembali Ketetapan MPR dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, yaitu terkait pertimbangan memilih Ketetapan MPR ketimbang Peraturan MPR dan Keputusan MPR sebagai berikut:
(i).Ketetapan MPR memiliki daya ikat dan daya laku secara eksternal. Baik terhadap lembaga-lembaga negara maupun masyarakat pada umumnya. Sementara Peraturan dan Keputusan MPR berdaya laku internal bagi MPR.
(ii).Dengan Ketetapan MPR, pengambilan keputusan penyusunan PPHN akan melibatkan institusi kenegaraan yang lebih luas dan merepresentasi kepentingan politik dan kepentingan daerah (baik anggota DPR dan anggota DPD).
Kita sama-sama mengetahuinya setelah amandemen UUD 1945 yang menghapus GBHN, perencanaan pembangunan nasional mengalami pergeseran mendasar. Kini, pembangunan mengacu pada visi-misi presiden yang tertuang dalam RPJPN dan RPJMN. Bukan lagi pada GBHN yang sebelumnya ditetapkan oleh MPR.
Memang RPJPN disebut lebih fleksibel dan terstruktur. Hanya saja, hal itu tidak menjamin kesinambungan antara pusat dan daerah, sehingga urgensi PPHN menjadi sangat vital. Menjamin berkesinambungan pembangunan nasional.
Lalu bagaimana agar PPHN mempunyai kekuatan seperti GBHN? Jawabnya, perlu amandemen. Apalagi dalam soal PPHN ini, Presiden Prabowo Subianto dikabarkan memiliki keinginan untuk melanjutkan pembahasan PPHN, meski informasi yang ada, Presiden belum secara jelas menyampaikan bentuk dan kedudukan PPHN yang diinginkan.
Rasanya berbagai elemen sudah sepakat untuk “menghidupkan” PPHN. Kini hanya tinggal kita, kapan bergerak. Kapan para stakeholder (DPD, MPR, DPR, MK dan lembaga lainnya) dengan semangat gotong-royong duduk bersama untuk membahas PPHN. Jagan hanya wacana-wacana saja, sehingga menghabiskan energi. Mengapa? Kita harus bertindak untuk menjaga berkesimbangannya pembangunan nasional.
Pembangunan berkesinambungan itu penting meski pemerintahan berganti karena untuk menjamin kemakmuran dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang, menjaga kualitas lingkungan, menciptakan ekonomi yang kuat dan inklusif, serta menjaga stabilitas sosial tanpa terputus oleh pergantian kepemimpinan. Hal ini dicapai melalui perencanaan pembangunan nasional yang terintegrasi dan kebijakan yang konsisten, bukan hanya pada kepentingan sesaat.
Mengapa pembangunan berkesinambungan penting saat pemerintahan berganti? Pembangunan berkelanjutan bertujuan memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, sehingga kesinambungan pembangunan terjaga meski ada perubahan pemerintahan. (*)