
MALANG POST – Banyak pelaku usaha mungkin belum sadar. Memutar musik di kafe, restoran, hotel, pusat kebugaran, atau tempat wisata tidak sekadar colok speaker, play Spotify, lalu suasana jadi cozy. Ada aturan mainnya.
Musik berhak cipta yang diputar di ruang publik untuk kepentingan komersial wajib dibayar royaltinya kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkum HAM menegaskan, berlangganan layanan streaming digital seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music tidak otomatis mengizinkan pemutaran di tempat usaha. Langganan itu sifatnya hanya untuk konsumsi pribadi. Kalau diputar di tempat usaha, tetap wajib izin dan bayar royalti.
Royalti dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sesuai amanat UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan PP Nomor 56 Tahun 2021. Sistemnya pun sudah baku. Tarifnya berbeda-beda sesuai jenis usaha.
Hotel dihitung per jumlah kamar, restoran per kursi, tempat wisata berdasarkan tiket masuk dan karaoke per room. Pembayaran masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan dibayarkan setahun sekali.
“Di Jatim Park Grup, kami sudah patuh sejak 2020. Bayar rutin setiap tahun ke LMKN sesuai ketentuan,” ujar Direktur Jatim Park 3 dan Senyum World Hotel, Suryo Widodo, Rabu (13/6/2025).
“Misalnya hotel, seratus kamar kena Rp6 juta setahun. Restoran per kursi Rp60 rubi, tempat wisata sesuai jumlah tiket yang terjual,” tambahnya.

ATRAKSI: para penari saat menunjukkan atraksinya di samping venue terbaru aqua symphony Jatim Park 3. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Tak cuma lagu-lagu pop atau internasional, karya daerah juga termasuk. “Intinya, selama musik digunakan untuk kepentingan usaha, tidak boleh sembarangan,” tegasnya.
Meski begitu, Suryo mengakui sosialisasi aturan ini masih kurang, terutama ke daerah. Akibatnya, banyak pelaku usaha di luar kota besar yang belum paham. “Dulu kami juga pernah kena tegur di 2020 karena belum bayar. Setelah itu kami langsung urus dan sampai sekarang rutin bayar,” tuturnya.
Suryo menyebut, sebelum ada LMKN, pembayaran royalti terbilang ruwet. Banyak lembaga kolektif seperti KCI dan WAMI, masing-masing menaungi genre musik tertentu.
“Akhirnya pemerintah membentuk LMKN biar satu pintu,” jelasnya.
Meski mendukung aturan ini, pihaknya melalui PHRI pusat mengajukan judicial review terkait tarif. Terutama untuk restoran dan cafe yang dikenai tarif Rp60 ribu per kursi.
“Menurut kami, ini tidak adil. Harga kopi di cafe Jakarta jelas beda dengan di Batu, tapi tarifnya dipukul rata,” ujarnya.
Bagi Jatim Park Grup, aturan ini bukan masalah. Tapi, Suryo mempertanyakan apakah semua pelaku usaha sudah paham. “Kalau kami tidak keberatan. Tapi, bagaimana dengan yang lain. Jangan sampai karena kurang sosialisasi, malah banyak yang kaget ketika ditagih,” pungkasnya. (Ananto Wibowo)