
Oleh: Dhimam Abror Djuraid
Pada awal 1980-an Jawa Pos adalah koran dengan oplah ‘’sak becak’’. Maksudnya, jumlah koran yang dicetak setiap hari cukup diangkut dengan satu becak. Kalau mau menyebut eksemplar mungkin kisaran 3 ribu sampai 5 ribu eksemplar. Kemudian Tempo membeli saham Jawa Pos, dan sejarah tercipta.
Ibarat hidup enggan mati tak mau. Mungkin seperti mayat hidup. Tapi, dalam 20 tahun Jawa Pos menjelma menjadi monster raksasa yang menggentarkan dunia pers Indonesia. Adalah Dahlan Iskan, yang ketika itu kepala biro Tempo Jatim, yang menyulap JP dari mayat hidup menjadi monster raksasa.
Ceritanya rada mirip dengan novel sci-fi Mary Shelly’s Frankenstein, Terbit pada 1818 tapi sampai sekarang masih banyak dibaca orang. Seorang anak muda bernama Victor Frankenstein yang cerdas, visioner, dan ambisius, ingin menciptakan makhluk yang dikumpulkan dari berbagai potongan tubuh mayat yang dikombinasikan dengan berbagai perlatan dari kayu, besi, dan kabel.
Frankestein menciptakan nyawa dari aliran listrik yang disambungkan ke tubuh sang makhluk. Lalu lahirlah makhluk raksasa berbentuk monster yang mempunyai kekuatan yang hebat. Sang monster lepas kendali memporakporandakan kota. Jawa Pos adalah monster raksasa itu. Dahlan Iskan ialah Frankestein yang menciptakan monster raksasa itu. Sekarang, si monster mengancam hidup Dahlan.
Dahlan Iskan adalah Jawa Pos, dan Jawa Pos adalah Dahlan Iskan. Begitulah pandangan publik selama ini. Tentu banyak yang terkejut ketika muncul berita Dahlan menggugat Jawa Pos, dan minta supaya diberi akses atas dokumen-dokumen penting yang dibutuhkannya.
Lebih mengejutkan lagi ketika dua hari yang lalu (Selasa 7/7) Dahlan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penggelapan dan pemalsuan surat. Adalah sang monster Jawa Pos yang melaporkan Dahlan ke polisi. Konflik yang semula tersembunyi sekarang meledak ke permukaan.
Dalam perspektif ekonomi politik media Jawa Pos menjadi monster raksasa setelah melewati tiga fase, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Tiga fase itu bisa digambarkan sebagai ‘’Fase Kembang Jepun’’ periode 1980-1990. Fase spasialisasi adalah ‘’Fase Karah Agung’’, periode 1990-2000, dan fase strukturasi mewakili ‘’Fase Graha Pena’’, sampai sekarang.
Komodifikasi adalah proses perubahan dari barang yang berfungsi sosial menjadi barang komoditas yang bernilai komersial. Ada tiga jenis komodifikasi, yaitu komodifikasi konten, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi tenaga kerja.
Komodifikasi konten berkaitan dengan konten media yang cocok dijual di pasaran karena sesuai dengan selera pasar. Komodifikasi khalayak berhubungan dengan rating yang didapat dari konten media. Rating itu kemudian dijual kepada pengiklan dengan imbalan finansial sesuai dengan jumlah khalayak yang menjadi pembaca dan pelanggan. Dahlan berhasil memformulasikan jurnalisme bertutur ala Tempo dengan selera orang Jawa Timur, dan Jawa Pos pun melesat bak meteor.
Komodifikasi tenaga kerja adalah proses para pekerja dalam memproduksi serta mendistribusikan produk media kepada khalayak. Dalam komodifikasi ini, tenaga dan pikiran para pekerja dimanfaatkan secara optimal, sekalipun beban kerjanya tidak sesuai dengan upah yang didapat. Kerja ekstra keras Dahlan selama bertahun-tahun membuatnya livernya rusak dan harus menjalani transplantasi.
Spasialisasi adalah proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Spasialisasi adalah cara mengatasi hambatan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Teknologi cetak jarak jauh yang dimiliki Jawa Pos pada dekade 1990-an memungkinkan proses spasialisasi dan membuat Jawa Pos berkembang ke seluruh Indonesia melalui JPNN (Jawa Pos News Network).
Fase strukturasi adalah proses penyeragaman ideologi secara terstruktur. Setelah Jawa Pos menjadi raksasa dengan mempunyai ratusan anak perusahaan di seluruh Indonesia terbentuklah strukturasi penyeragaman ideologi seluruh anak perusahaan Jawa Pos.
Strukturasi adalah hubungan agen sebagai pembentuk suatu struktur, dan struktur membentuk agen. Pada fase inilah Jawa Pos mempunyai pengaruh yang sangat besar kepada struktur kekuasaan. Pada fase inilah Dahlan Iskan menjadi direktur PLN, kemudian menteri BUMN.
Ketika menjabat sebagai direktur PLN itulah Dahlan mulai dikucilkan. Para pemegang saham Jawa Pos—orang-orang Tempo tempat Dahlan memulai karir jurnalistik—merasa bahwa saat itulah waktu yang tepat untuk menyingkirkan Dahlan.
Secara psikologis dan historis Dahlan tetaplah dianggap sebagai ‘’anak kemarin sore’’ oleh elite Tempo. Ia dipelihara karena dianggap sebagai angsa bertelur emas. Atau, meminjam istilah Deng Xiaoping, Dahlan ialah kucing yang pandai menangkap tikus. Tidak peduli kucing hitam atau putih, asal pintar menangkap tikus maka akan terus dipelihara.
Tempo ibarat ‘’kebo nyusu gudel’’ terhadap Dahlan. Dividen mengalir lancar setiap tahun. Ketika Tempo dibreidel oleh Orde Baru pada 1994 Jawa Pos memberi skoci penyelamat.
Tetapi, logika korporasi tidak mengenal sejarah, tidak mengakui keringat dan pengorbanan, serta abai terhadap jasa. Ketika Dahlan sudah tidak dibutuhkan lagi maka habis manis sepah dibuang. Logika korporasi mengatakan ‘’habis manis sepah ditelan’’ adalah logika tolol.
Perang terbuka ini juga merupakan ‘’perang putra mahkota’’. Ada tiga putra mahkota di Jawa Pos. Azrul Ananda dipersiapkan oleh Dahlan Iskan. Hidayat Jati dipersiapkan oleh Goenawan Mohammad, dan Maesa Samola menjadi pewaris Eric Samola.
Azrul Ananda sudah disingkirkan. Sekarang tinggal Hidayat Jati dan Maesa Samola yang menjadi penerus takhta. Hidayat Jati-lah yang sekarang menjadi penguasa. Mungkin dia punya skenario tersendiri terhadap Dahlan.
Saat ini sang monster terlihat sangat bernafsu untuk menghabisi Dahlan, dengan segala cara. Dalam kisah Mary Shelley, monster yang tak bisa dikendalikan itu memburu dan membunuh keluarga Frankenstein. Sang monster bahkan ingin membunuh Frankenstein. Kisah ditutup dengan kematian Frankenstein dan sang monster mati dengan cara ‘’mukso’’, menghilang tanpa bentuk.
Dahlan vs Jawa Pos tidak boleh menjadi versi baru Frankenstein vs monster. Bisa terjadi ‘’tiji tibeh’’, mati siji mati kabeh (mati satu, mati semua). Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Dahlan Iskan adalah aset bangsa yang harus diselamatkan. (*)