
Oleh: Dahlan Iskan
lang tahun Harian Disway tanggal 4 Juli pagi saya abdikan sepenuhnya untuk mereka: para pejuang terwujudnya sistem pembayaran digital nasional kita: QRIS.
QRIS membuat saya malu. QRIS tidak punya ulang tahun. Padahal saya menempatkan QRIS sebagai puncak perjuangan nasionalisme kita di era modern. Di bidang ekonomi. Khususnya keuangan. Lebih khusus lagi di zaman digital ini.
Sedang Harian Disway, apalah hasil perjuangannya. Tidak ada artinya dibanding QRIS. Ibarat hanya satu butir sawit di tengah ”lautan perkebunan sawit”-nya.
Maka sebenarnya malu juga berulang tahun. Apalagi ulang tahun Disway dua kali: 9 Februari sebagai lahirnya Disway.id dan 4 Juli sebagai lahirnya Harian Disway. Rasanya saya ingin menyatukan itu di satu ulang tahun saja: 4 Juli –agar tidak tabrakan dengan Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari.
Saya tidak tahu apakah para pejuang QRIS sudah banyak yang meninggal dunia. Yang saya tahu satu: Dr Pungky Purnomo Wibowo. Jabatan terakhir almarhum: kepala Sistem Pembayaran Ritel dan Inklusi Keuangan di Bank Indonesia.
Seandainya Dr Pungky masih hidup saya ingin wawancara: siapa saja yang paling gigih memperjuangkan lahirnya QRIS di Indonesia. Tapi Pungky pasti akan merendah: “QRIS lahir sebagai pelaksanaan kebijakan Arsitektur Perbankan Nasional”. Berarti yang mewujudkan konsep arsitektur perbankan nasional itulah yang juga sangat berjasa.
Arsitektur itu sendiri lahir sebagai puncak kontemplasi para tokoh perbankan nasional: mengapa terjadi krisis moneter di tahun 1998 yang masih diikuti oleh krisis keuangan di tahun 2008.
Di situ ada nama Agus Martowadoyo: gubernur Bank Indonesia yang sebelumnya menjabat menteri keuangan. Tentu ada Presiden SBY sebagai sentral kebijakan. Ada para deputi gubernur Bank Indonesia.
Ada pula tokoh seperti Perry Warjiyo, sekarang menjabat gubernur Bank Indonesia. Juga para deputinya. Ada Presiden Jokowi yang meresmikan QRIS dan para menko ekonominya.
Pokoknya pasti banyak yang berjasa atas lahirnya QRIS. Lain hari saya akan menggali lebih dalam siapa saja mereka.
Tapi karena satu orang ini yang sudah meninggal maka uraian terbanyak saya tulis untuk almarhum Pungky. Ia meninggal tahun 2021.
Akibat Covid-19? Antara iya dan tidak. Pungky meninggal setelah Covid agak berlalu. Tapi ketika terkena Covid sebelum itu D-dimer-nya naik. Terbentuk gumpalan-gumpalan dalam darahnya.
Saya sendiri, kala itu, sama: D-dimer saya naik sampai 6000 –padahal level maksimalnya 500.
Pungky punya komorbid yang terlihat oleh siapa pun: berat badannya hampir 110 kg. Itu pun sudah turun dari sebelumnya: 120 kg.
“Kami memang keluarga kelas berat,” ujar Adi Sulistyo, adik Pungky. “Ayah, kakak-kakak dan saya sendiri kelebihan berat badan,” tambah Adi.
Saya telepon Adi dini hari kemarin pagi. Tidak diangkat. Ternyata ia yang balik telepon saya. “Maafkan tadi saya masih salat subuh,” katanya.
Adi juga bergerak di keuangan. Ia menjadi salah satu eksekutif di bank asing di Jakarta. “Kami sering diskusi soal keuangan,” ujar Adi. “Sebagai regulator Mas Pungky sering bertanya praktik yang terjadi di sektor riil ke saya,” ujarnya.
Kakak beradik ini sangat bersaudara. Sering telponan dan saling mengajak bertemu. Sehari sebelum meninggal pun Pungky masih mengajaknya olahraga bersama: jalan pagi. Sambil diskusi. Pun di pagi sebelum meninggal. Ia masih mengajak Adi untuk mencapai 10.000 langkah.
Setelah itu Pungky siap-siap bekerja: masih WFH. Sehari penuh ia di depan komputer. Juga online dan by phone. Pungky, kata Adi, orangnya berjiwa keras. Semua pekerjaan harus beres.
Pukul 4 sore, Pungky mengikuti perkembangan keadaan di layar TV. Di sofa di rumahnya itu ia terkulai. Sendirian. Meninggal dunia: 5 Januari 2021.
Kalau Anda bertanya pada orang-orang Bank Indonesia siapa Pungky, jawabnya akan seragam: pejuang QRIS.
Tahun 2021 adalah tahun duka bagi keluarga Pungky. Enam bulan setelah itu ayahnya meninggal dunia. Satu minggu kemudian kakak Pungky juga meninggal dunia. Lalu ibunya. Empat orang meninggal dalam satu keluarga di tahun yang sama.
Kini Adi tinggal dua bersaudara. Istri Pungky sendiri seorang konsultan, hidup sehat bersama dua putrinyi: dua-duanyi alumnus Universitas Indonesia. Yang sulung jadi dokter (calon spesialis), yang bungsu sarjana hukum. “Beberapa hari sebelum meninggal Mas Pungky seperti menitipkan dua putrinyi itu untuk ditinggal pergi,” ujar Adi.
Tentu QRIS lahir jauh setelah sistem pembayaran digital di Tiongkok. Setidaknya QRIS tergolong lebih cepat terlaksana dari misalnya Jepang atau pun Amerika. Sampai-sampai Amerika menjadikan QRIS sebagai salah satu alasan untuk ”menghukum” Indonesia dengan tarif impor 42 persen itu.
Dengan QRIS Indonesia bisa sekali dayung tiga pulau tercapai: salah satunya keuangan yang inklusi. Dengan QRIS hilanglah kasta-kasta di masyarakat. Dulu rakyat kecil tidak bisa melakukan pembayaran digital. Hanya elite yang punya kartu kredit. Kini kaki lima pun bisa bertransaksi dengan cara yang sama dengan pedagang Ferrari.
“Mas Pungky selalu mengajak diskusi soal inklusi dalam sistem keuangan,” ujar Adi, sarjana teknik elektro ITB.
Dua pulau yang lain adalah: ketahanan nasional dan tersimpannya data vital di dalam negeri sendiri.
Dengan QRIS tidak ada lagi komisi setiap transaksi lari ke luar negeri.
Mas Pungky…., di ultah Harian Disway ini, kami memberikan penghargaan tertinggi untuk Anda. Untuk istri Anda. Untuk putri-putri Anda.
Mas Pungky…., Anda telah membuat sejarah dalam sekali hidup Anda: itu amal jariyah yang tidak sudah-sudahnya. (Dahlan Iskan)