
MALANG POST – Dalam Sapta Pesona, salah satunya juga ada soal keramahtamahan. Sehingga ramah itu jadi salah satu kunci keberhasilan sebuah tempat wisata.
Apalagi saat ini untuk mengenalkan wisata sangat mudah, karena adanya istilah viral di sosial media. Kalau suatu wisata viralnya karena hal buruknya, maka terkenalnya juga tidak baiknya.
Hal itu disampaikan Ketua Pokdarwis Kota Malang, Ki Demang, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Selasa (8/4/2025).
“Saat ini SDM yang ada di kampung-kampung tematik, sudah layak dan baik. Mereka juga mendapatkan pelatihan dari Dinas Pariwisata Kota Malang soal tata kelola wisata,” tambahnya.
Salah satunya, kata Ki Demang, soal attitude tour guide. Bahkan dalam satu kampung tematik, paling tidak ada 3-5 tour guide atau satu tour leader yang sudah tersertifikasi.
Ki Demang juga menilat, warga Kota Malang sudah terbiasa kedatangan wisatawan, yang biasanya ke suatu tempat untuk menggali banyak info.
Karena itu, pihaknya tinggal memberikan edukasi, kalau hal ini sebenarnya sebuah peluang yang bisa menggerakkan ekonomi.
“Kampung tematik itu terbentuk dengan melihat potensi yang ada didalamnya. Misalnya Kampung Budaya Polowijen, yang pada dasarnya sudah ada sisi sejarah yang muncul adanya situs Kendedes.”
“Kemudian Kampung Jodipan, yang berawal dari lingkungan kumuhnya, kemudian berubah menjadi tempat yang indah dan menarik untuk dikunjungi,” tandasnya.
Meski demikian, membangun kampung tematik tidak mudah. Karena ada banyak pengorbanan yang diberikan. Mulai dari materi, tenaga dan pikiran, untuk mengeluarkan ide-ide kreatif itu.
“Saat ini di kampung tematik, masih belum ada regulasi yang disusun untuk wisatawan. Kecuali kalau mereka membeli paket yang hitungannya beberapa hari,” sebutnya.
Sementara itu, Tourismologist Universitas Brawijaya, Faidlal Rahman, menyebut, dalam menyelaraskan keinginan antara wisatawan dengan tuan rumah, perlu kehadiran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator.
“Sehingga penting peran pemerintah untuk harmonisasi. Ketika aturan jelas maka wisatawan maupun warga sekitar punya kewajiban mematuhi,” katanya.
Beberapa tahapan yang dimaksud, pertama di masa euforia. Dimana awal pembangunan wisata masyarakat sekitar menerima dengan senang.
Kemudian di fase selanjutnya, masyarakat merasa biasa saja dengan kedatangan wisatawan.
Faid menyampaikan juga, setelah itu masuk lagi ke fase jenuh. Masyarakat sudah mulai terganggu dengan kedatangan wisatawan. Kemudian ada lagi satu titik di fase penolakan secara terang-terangan dari warga.
“Sebenarnya fase ini wajar. Tapi edukasi soal menghargai itu sebenarnya bukan suatu kewajiban dari warga saja, tapi juga untuk wisatawan. Sehingga edukasi soal bersikap itu juga disampaikan pada wisatawan,” tegasnya. (Wulan Indriyani/Ra Indrata)