MALANG POST – Diskusi menarik terjadi di seminar garapan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Januari lalu. Mereka membahas mengenai ‘Masa Depan Moralitas Politik Indonesia: Dialektika Dramaturgi Politik Praktis Kekinian’.
Turut hadir sederet pembicara andal seperti Ahmad Warits, S.IP selaku Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Timur yang juga alumnus Ilmu Pemerintahan (IP) UMM, Dosen IP Dr. Saiman, M.Si, hingga pakar komunikasi politik Zen Amirudin, M.Med.Kom.
Warits memaparkan ada beberapa isu krusial politik kekinian di Pemilu 2024 lalu. Di antaranya, aturan main yang cepat berubah saat tahapan telah berjalan, money politic yang semakin brutal, partisipasi politik rendah.
Bawaslu tidak mampu menjangkau perilaku money politic, serta netralitas Kepala Desa/ASN/TNI/Polri. Ia mengatakan, terdapat setidaknya 130 kasus politik uang di Indonesia yang bersumber dari temuan dan laporan.
Money Politic itu sangat berbahaya ketika para calon terpilih terdiri dari orang- orang tidak memiliki kapasitas tetapi dipilih karena adanya money politic.
“Ini bahaya dan akan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan negara terutama kebijakan anggaran tingkat kabupaten maupun kota”, ungkapnya.
Selaras dengan yang disampaikan oleh Warits, Zen berkesempatan menyoroti terkait dialektika dramaturgi politik di Indonesia.
Dramaturgi adalah teori yang diperkenalkan oleh Erving Goffman dalam sosiologi yang mengibaratkan kehidupan sosial sebagai sebuah pertunjukan teater yang ada di front stage dan backstage.
Dalam dunia politik, ini berarti bahwa aktor politik seperti politisi, partai, ataupun kelompok masyarakat memainkan peran tertentu yang terlihat oleh publik.
Lebih lanjut, moralitas dan dramaturgi dalam politik dapat dilihat dari tiga aspek utama, yaitu pencitraan, manipulasi opini publik, dan komersialisasi politik.
Pencitraan mengacu pada upaya untuk menampilkan citra tertentu yang dapat mengaburkan nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi landasan dalam pengambilan keputusan politik.
Manipulasi opini publik seringkali berujung pada polarisasi dan perpecahan di masyarakat, sedangkan komersialisasi politik menjadikan popularitas dan elektabilitas sebagai komoditas yang diperdagangkan, mengorbankan nilai-nilai moral demi keuntungan politik.
“Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan pendidikan karakter, reformasi birokrasi, penguatan pengawasan masyarakat, penguatan partai politik, serta peran media massa yang lebih kuat”, tutupnya.
Hal ini juga dipertegas oleh Saiman yang menyampaikan ederet masalah politik. Mulai dari korupsi pejabat publik, dinasti politik, money politik, intervensi oligarki, politik transaksional, pemilu biaya tinggi, lemahnya integritas pemimpin, dan lemahnya pengawasan legislatif serta masyarakat.
“Korupsi adalah salah satu keresahan di masyarakat. Uang negara yang seharusnya bisa untuk kemakmuran, malah dimakan dna dinikmati diri sendiri,” tegasnya mengakhiri. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)